Di Balik Batik Kasbani

Tanggal 2 Oktober selalu jadi hari raya batik bagi bangsa Indonesia. Pada 2009, UNESCO mengakui batik sebagai warisan dunia untuk kategori budaya tak benda dari Indonesia. Bangsa saya ini sebelumnya sempat rungsing, luka, tersinggung, atau apalah namanya, oleh Malaysia yang senang mematenkan ini itu. Termasuk, batik yang dianggap kebudayaan asli Indonesia itu.

Pengakuan ini jelas jadi angin segar bagi sebagian besar penduduk negeri ini. Sejak saat itu, ramai gerakan merayakan “kemenangan” Indonesia atas si tetangga jiran ini. Mulai dari kelompok peduli batik hingga diskon dari penyelenggara taman rekreasi bagi pengunjung yang mengenakan batik. Presiden SBY pun mengimbau khalayak ramai mengenakan batik di tanggal penyerahan pengakuan dari badan PBB itu.

Setiap tanggal bersejarah itu, Jakarta disesaki warga berbatik lebih banyak dari biasanya. Jika di pekan-pekan sebelumnya pemakai batik di hari Jumat hanyalah pegawai negeri sipil dan karyawan, tanggal 2 Oktober lalu rasanya berbeda. Remaja putri yang berjalan-jalan di mall, ibu rumah tangga yang pulang dari pasar, hingga petugas Transjakarta terlihat mengenakan batik.

Pemandangan seorang tukang ojek berbatik di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur pun jadi menarik buat saya. Kasbani (56 tahun), si tukang ojek berbatik, tengah bertengger di atas Honda Astrea keluaran 1996, menanti pelanggan datang di siang yang terik itu. Jari telunjuknya teracung tinggi tiap ada pejalan kaki yang berjalan mendekati deretan motor yang berbaris di pangkalan ojek terminal itu.

Hari itu, Kasbani seakan jadi orang asing dalam patron berbusana tukang ojek yang ada di pangkalannya. Ia jadi satu-satunya pengendara ojek yang mengenakan batik hari itu. Perlengkapan standar tukang ojek macam rompi seragam pangkalan berwarna mencolok, jaket tipis untuk menghalau teriknya matahari, atau kaus katun yang menyerap keringat, tak satupun dikenakan Kasbani.

Usut punya usut, batik Kasbani tak sedikitpun berhubungan dengan penahbisan batik hari itu. Alasan Kasbani sederhana, bajunya yang lain tengah dicuci dan tinggal hem batik itulah baju bersih di lemarinya. Terlebih, hari itu ia harus menunaikan Shalat Jumat, jadi menurutnya tak ada salahnya memakai baju yang sedikit formal walau tetap “narik”. Soal woro-woro Pak Beye, Kasbani sama sekali tak tahu.

Kasbani ternyata tak hirau dengan tetek bengek sengketa budaya seputar batik. Sebagai orang yang tidak mengerti, ia memilih tak mengomentari kabar gembira pengakuan dari badan PBB itu. Ia pun mengaku tak mengerti makna dibalik batik yang ia kenakan. Alih-alih bangga dengan diakuinya batik sebagai milik Indonesia, ia justru berkata lebih bangga jika memiliki batik yang bagus. “Batik yang bagus itu ya harganya mahal, Mbak,” kata kakek enam cucu ini.

Dahulu, busana dan kain batik kerap menjadi alat legalisasi kekuasaan elit atas kelas masyarakat di bawahnya. Berbeda dengan sekarang, ada aturan khusus tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja, sentana, abdi dalem, dan rakyat biasa. Peraturan tersebut teramat rinci hingga membagi-bagi motif batik untuk kelas-kelas masyarakat yang ada. Pada masa lampau, kain batik bermotif parang, seperti parang rusak, parang klithik, parang kusuma, dan lain-lain hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya (Kuntowijoyo, 2004).

Karenanya, wajar bagi wong cilik macam Kasbani merasa berjarak dengan batik yang menurut pandangan awam seperti saya, layak jadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Lumrah pula ketika ia mengasosiasikan batik dengan kemapanan finansial karena selembar kain batik yang berkualitas atas bisa dilego seharga jutaan rupiah. Kemapanan yang jauh dari jangkauannya yang hanya berpenghasilan tiga puluh ribuan rupiah tiap hari.

Di zaman sekarang, barangkali Pak Beye berharap filosofi ketekunan dan keindahan dari batik lah yang dapat dicerap lantas diambil hikmahnya. Goresan canting dari tangan-tangan wanita pembatik melambangkan ketelitian, kelemah lembutan, dan perfeksionisme. Sedang proses pewarnaan dengan malam melambangkan keuletan, semangat dan kerja keras. Namun tak dapat dipungkiri, konstruk berpikir ala zaman feodal yang dimiliki Kasbani masih tertanam di otak sebagian masyarakat.

Akhirnya, barangkali lebih baik bersikap seperti Kasbani yang enggan sok tahu soal perkara sah-mensahkan batik ini. Menurut Iwan Tirta, yang disahkan UNESCO menjadi warisan budaya dunia adalah batik tulis, bukan batik cap pabrikan atau malah sekadar kain bermotif batik yang banyak dikenakan khalayak saat 2 Oktober itu.

Tampaknya, saya ataupun Anda yang memakai sembarang batik di hari itu mesti belajar banyak kepada Kasbani.

http://www.berbatik.com”>

Iklan

Satu pemikiran pada “Di Balik Batik Kasbani

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s