Pendidikan di negara ini memang sudah sungguh sakit, baik sistemnya, pelakunya, hingga regulatornya. Eksesnya jelas, dunia pendidikan kita makin terpuruk dari hari ke hari. Jika tidak, dari mana datangnya angka kasus putus sekolah yang demikian tinggi. Fakta berbicara, kasus putus sekolah nyaris menyentuh bilangan 12 juta siswa pada 2007. Angka dua belas juta berarti sama saja ketika Anda berada di Jakarta, kemanapun Anda pergi setiap manusia yang anda lihat adalah anak yang putus sekolah. Bangsa ini sedang menunggu bom waktu meledak ketika mendapati ada satu generasi yang hilang karena tidak bisa menjangkau pendidikan.
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan pemerintah sebagai program kompensasi kenaikan BBM tahun 2005 lalu tidak cukup sakti untuk mengerem angka putus sekolah. Jangan pernah berharap banyak pada program BOS ini karena akan datang ancaman baru. Cepat atau lambat RUU BHP akan disahkan, padahal kekuatan BHP sangat lemah dalam mengamankan aksesibilitas masyarakat marjinal pada pendidikan.
Yang perlu dicermati bersama bahwa sekolah tidak sama dengan pendidikan. Sekolah adalah proses, sementara pendidikan adalah keseluruhan sistemnya. Celakanya, bangsa ini semakin terbiasa dengan pendidikan abal-abal yang sekolahnya pun ancur-ancuran, kadang malah ancur beneran (maksudnya sekolah yang roboh). Dana pendidikan yang trilyunan itu dikucurkan sembarangan hingga hanya menetes seadanya bagi mereka yang berhak. Sekolah pun dituntut menjadi panci presto, harus memberikan output sesuai standar UAN dalam waktu yang singkat. Alhasil, ribuan siswa kemudian tak lulus UAN. Mereka lalu dipunguti Depdiknas dan dirangkul lagi dalam Ujian Paket C. Sungguh sebuah sistem yang abal-abal.
Seabad lalu, kebangkitan bangsa ini bermula dari kesadaran sekelompok pemuda yang menyadari bahwa dirinya terjajah. Mereka yang kemudian menamai kumpulannya Boedi Oetomo ini adalah generasi muda Indonesia yang paling awal mendapat pendidikan, buah dari politik balas budi pemerintah kolonial. Berdirinya Boedi Oetomo kemudian menginspirasi berdirinya organisasi-organisasi lain yang memperjuangkan hal senada. Mereka berjuang, hingga akhirnya bangsa ini berani mengaku merdeka pada 1945.
Freire berkata, hakikat pendidikan adalah membebaskan. Sejiwa dengan itu, Ki Hajar Dewantara Sang Bapak Pendidikan Indonesia berkata bahwa pendidikan seyogyanya memerdekakan. Jika kini kita tidak menganggap bahwa pendidikan terjangkau bagi setiap penduduk Indonesia adalah hal mendesak yang harus diperjuangkan oleh semua pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat), mari bertanya pada diri sendiri,
Apakah bangsa kita adalah bangsa yang merdeka?
(Ditulis untuk memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional)