Dua kali ketukan di pintu.
Salah seorang office boy masuk setelah dipersilakan. Mamase–panggilan akrab bagi pesuruh di kantor saya–mengangsurkan sebuah buku gambar A3. Penerimanya sumringah, “Nah ini dia, Shal.”
Yang saya tahu selanjutnya, buku gambar itu jadi favorit yang hampir selalu dibawa-bawa.
Di buku itulah dia sering menggambar skema masalah yang sedang menggelayut di pikirannya. Selalu dimulai dengan bulatan di tengah, entah untuk menggambarkan himpunan atau entitas. Lalu bulatan itu akan bertumpuk, bercabang, atau berjukstaposisi sampai skema itu selesai atau bagian bersih di kertas sudah habis.
Jangan lengah menyimak saat dia sedang menjelaskan skema dibuat. Percayalah, tidak ada gunanya mencontek salinan skema punya teman sebelah, tak perlu juga menghapal skema-skema itu. Karena bagian terpenting adalah penjelasannya itu sendiri. Saya yakin, tak ada patokan baku dari skema-skema tersebut karena dia pun akan membuatnya dengan cara (sedikit) berbeda pada kesempatan berikutnya.
Skema-skema dinamis itu seolah menjelaskan bahwa dia sudah muak betul dengan pendekatan model tunggal untuk semua masalah. Dia percaya bisa ada banyak ragam pendekatan yang efektif, maka yang perlu dikunci adalah perilaku aktor yang menjalankannya.
Dia pun punya mimpi besar tentang munculnya kesadaran kolektif para aktor tadi, yang mampu menjelma jadi gerakan masyarakat sipil yang berdaya mengurusi dirinya sendiri.
***
Pada suatu petang saya menumpang mobilnya untuk kembali ke kantor. Kami baru saja menyelesaikan tugas mengunjungi redaksi surat kabar nasional terbesar negeri ini. Macet di Palmerah sedang lucu-lucunya.
Sekadar ingin membunuh waktu, saya melontarkan sembarang pertanyaan, “Waktu ’98 itu, yang terjadi seperti apa Pak?” Saya ingin dengar ceritanya sebagai saksi yang ikut terlibat di gerakan reformasi tahun itu.
Dia tidak langsung menjawab.
Setelah jeda sejenak, dia berkata, “Sembilan delapan itu, saking indahnya, gue nggak mau mengenangnya sering-sering.”
Mendapat jawaban yang membuat kening berkerut begini, saya memintanya mengelaborasi lebih jauh. Saya sendiri waktu itu masih kelas VI SD, di Bandung pula, sehingga mengalami suasana yang berbeda namun bisa merasakan ada hal penting yang sedang terjadi di ibukota sana.
Dia bertutur pelan, mencoba membagi konsentrasi antara mengemudi dan mengingat salah satu kenangan terbaik hidupnya.
Waktu itu, katanya, tahun 1998 Indonesia mengalami momentum dahsyat. Elemen-elemen masyarakat serentak turun ke jalan dan menggulingkan pemerintahan. Berada di tengah pusaran itu semua membuatnya tidak mau “mengenangnya sering-sering”, karena dia khawatir itu akan mengurangi sensasi indah yang tersisa di ingatan. Apalagi peristiwa macam 1998 belum tentu mampu terulang lagi.
“Jogja, Bandung, itu kan poros (gerakan mahasiswa) semua, Shal. Gue dulu sering ke Bandung naik kereta ekonomi.”
Lalu dia menyebutkan nama-nama aktivis gerakan mahasiswa Bandung yang jadi kompatriotnya. Saya sering mendengar nama-nama itu kini kerap dikutip media, entah sebagai pengamat ataupun pucuk pimpinan organisasi nonpemerintah.
Beberapa hari kemarin, kata-kata itu dia ulang lagi. Tentang cita-citanya melihat tumbuhnya gerakan masyarakat sipil yang kuat di Indonesia. Lalu pembicaraan sekian bulan lalu saat macet di Palmerah jadi masuk akal. Keimanannya yang besar terhadap gerakan masyarakat sipil, sedikit banyak, tumbuh karena peristiwa 1998. Kemudian sepertinya iman itu pula yang jadi alasan atas sejumlah pilihan-pilihan hidupnya kemudian.
Ketika gerakan ini dirintis, dia turut meletakkan cita-cita tentang gerakan masyarakat sipil sebagai fondasinya. Sebagai turunan dari cita-cita itu, bisnis gerakan ini pun selalu konsisten di semua lini: tentang menemukan aktor penggerak, mengembangkan kapasitas, dan membangun interaksi di antara mereka.
Di tahun kelima gerakan ini berdiri, dengan segala lecet-lecetnya, mungkin dia sebenarnya tak lagi terlampau cemas lagi mengenang 1998. Karena miniatur kepingan kecil sensasi yang terjadi tahun itu, telah mampu kita hasilkan lagi dari denyut-denyut sederhana sehari-hari, di berbagai titik negeri ini.
Waktu dia bilang, “Cita-cita adalah hiburan terbaik dalam membuang pedih dan peri,” barangkali dia memang sedang menghibur kita semua atas semua lecet-lecet yang sudah, sedang, dan akan kita dapatkan. Tapi tak mengapa, toh memang kita bersepakat ada di gerakan ini atas cita-cita yang lebih besar dari nyali pribadi.
Maka saya yakin, suatu saat dia, saya, dan kita semua akan bertemu lagi di ujung perjalanan ini. Entah di surat kabar atau sebagai salah satu bulatan dalam skema di buku gambar A3 lainnya. Karena kita sama-sama punya cinta yang keras kepala untuk Indonesia.
Ah, rasanya tak sopan sekali memanggilnya ‘dia’ di sepanjang tulisan ini. Seharusnya saya menyapa dengan beliau. Ini tulisan tentang bos saya. Sebut beliau Pak HH.