Senjang

Ada jarak yang kentara antara kami—para relawan—dengan mereka, tetamu. Jarak senjang yang keterlaluan getirnya.

Kami berdiri di balik konter dapur, memakai celemek, memasak, dan menyajikan makanan untuk mereka. Sementara mereka yang menyorongkan piring, menolak sajian daging, meminta tambahan roti atau kembang kol rebus. Kami yang mengelap keenam meja makan, menyusun garam-merica-sambal pada setiapnya, dan menyikat lantai. Sedangkan mereka akan duduk berdua-bertiga di ruang santai sambil berselancar di internet atau menonton televisi dan makan kudapan. Bulan ini saatnya es krim.

Kami pula yang merendam piring kotor dengan air hangat sebelum memasukkannya ke dishwasher, mengelap mangkuk yang sudah keluar mesin sampai kesat, dan langsung menyusunnya lagi di atas konter—karena entah mengapa tak pernah ada cukup mangkuk untuk semua. Sedangkan mereka yang akan meminta diambilkan jus lemon untuk teh, dibawakan handuk bersih, atau bilang bahwa coffee maker perlu diisi ulang.

Mulanya saya sempat gusar. Mencuat pertanyaan di kepala, mengapa bukan tetamu saja yang mengerjakan semua pekerjaan domestik ini—tetapi malah relawan?

Shelter Report_Cover Alternative 1 (Courtesy - T25)

Rutinitas makan malam di Shelter (Dokumentasi T25)

***

Sejak Oktober tahun lalu saya menjadi relawan sesi Sabtu malam di tempat singgah sementara untuk tunawisma yang letaknya di Caledonian Road, London Utara. Namanya Shelter from the Storm, dieja persis seperti judul lagu Bob Dylan yang tenar itu. Kabarnya, Sheila—wanita paruh baya pendiri tempat singgah ini—adalah penggemar berat sang penyanyi. Maka tak heran tempat singgah rintisannya mendapat nama ‘Shelter’, begitu kelakar di antara para relawan pada suatu kali.

Sheila berjibaku merintis Shelter sejak 2007, mendudukkannya dalam bentuk badan sosial mandiri yang tidak menerima bantuan dari pemerintah. Ada banyak kerumitan yang saling sengkarut dalam bidang penanganan tunawisma di London; membuat Sheila memilih untuk menjadikan Shelter sebagai lembaga independen dan memaklumi seretnya aliran dana akan jadi tantangan rutin. Karena itu dia hanya mampu menggaji dua staf penuh waktu untuk mengerjakan berabrek-abrek pekerjaan di Shelter, dibantu puluhan relawan yang terbagi dalam tiga sesi setiap hari—pagi, sore, dan jaga malam.

Saat ini ada 43 tunawisma alias the guests—tetamu—yang tinggal di Shelter. Hanya tunawisma yang mendapat rujukan dari lembaga resmi saja—seperti dinas sosial, rumah sakit, penjara—yang bisa mendapat tempat tinggal di sini.

Maklum, sebagai satu-satunya tempat singgah tunawisma gratis di London, Shelter terbilang jadi penampungan idaman di kalangan mereka yang terpaksa menggelandang. Dengan jam operasional mulai pukul 5 sore sampai pukul 8 pagi dan buka setiap hari ditambah penyediaan makan malam dan pagi, Shelter bisa dibilang sebagai tempat penampungan paling murah hati di seantero ibukota Inggris Raya ini. Fasilitas sanitasi dan rekreasi pun terbilang memadai. Ada tiga toilet, dua kamar mandi, mesin cuci beserta pengering untuk kebersihan diri juga beragam buku, televisi 52 inci, dan satu set meja biliar untuk melepaskan penat.

shelter plan

Denah skematik Shelter (Dokumentasi pribadi)

Segala kemudahan hidup itu sempat membuat saya berharap tetamu hendaknya lebih tahu diri dan membalas budi selama tinggal di sini. Saya pun jadi jengah ketika hanya para relawan yang harus lintang-pukang mengerjakan segala pekerjaan di Shelter sementara mereka asyik bercengkerama.

Di kunjungan ketiga saya baru punya cukup temuan untuk menduga bahwa Sheila dan tim pengelola sengaja membuat para penghuni jadi berjarak. Namun utamanya bukan dengan para relawan melainkan dengan tempat mereka tinggal, Shelter ini. Bahwasanya Shelter selamanya adalah tempat tinggal sementara dan karenanya mereka harus berjuang menemukan rumah yang permanen. Itu pula sebabnya Shelter mendapuk para tunawisma yang tinggal dengan sebutan ‘tamu’ yang sifatnya temporer, bukan ‘penghuni’ atau semacamnya yang berkesan menetap.

Sepertinya itu juga alasan di balik rupa-rupa kegiatan peningkatan kapasitas diri di Shelter ini; macam pelatihan membuat CV, lokakarya menulis kreatif, dan pelatihan P3K. Staf dan relawan pun cukup terlibat aktif membantu tetamu yang ingin mencari kerja.

Kegetiran jarak ini bukannya tak terindera oleh tetamu. Mereka tahu rasanya tak berdaya karena tak bisa—atau lebih tepatnya tidak boleh—melakukan semua pekerjaan domestik remeh-temeh itu sendiri. Bahkan sebagian dari mereka amat paham sekali karena sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun.

Di malam Natal, ketika hanya ada saya dan seorang relawan lain yang bertugas di sesi makan malam, keadaan agak tidak terkontrol. Perhitungan waktu dan porsi makanan yang tersedia ternyata meleset, membuat sebagian tetamu naik darah karena tak cukup kenyang. Thomas, rekan saya malam itu, sedang mengambil bahan makanan tambahan dan hanya saya sendiri yang meladeni 30-an tetamu yang ada di sana malam itu dari balik konter dapur.

Piring kotor mulai menggunung di atas konter, hampir tercampur dengan alat makan bersih yang disusun di sebelahnya. Microwave berdenting tanda segelas capuccino punya Grace sudah selesai dihangatkan. Dari balik kacanya saya bisa melihat bahwa krim kopi sudah berbuih banyak sekali dan akan tumpah tiga detik lagi jika saya tidak segera menyambar untuk mengangkatnya. Sementara Earlin mengacung-acungkan botol air panas miliknya, meminta saya mengisinya dari teko listrik di sisi lain dapur.

Sembari berjalan cepat ke arah microwave, saya membujuk Marek yang sedari tadi marah-marah minta makanan tambahan agar bersabar sampai Thomas datang membawa makanan tambahan. Dari sudut mata, saya bisa melihat Tendekai berdiri di ujung konter sambil memegang piring kotor dengan pandangan yang menunggu.

Belum sempat saya menghampiri Tendekai, Poppy memanggil dan ngotot meminta saya memperbaiki penghangat ruangan yang tidak terasa berfungsi. Saya menjelaskan kepadanya kalau mesin itu baru efektif berfungsi di atas pukul 9 malam jadi yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu.

Waktu saya meladeni Poppy tadi, ternyata Tendekai sudah keburu menyelinap di balik punggung saya dan kini berdiri mencuci piring di sink. Karena kelewat geram dengan kekacauan yang terjadi, dia nekat melanggar peraturan Shelter yang melarang tetamu mengerjakan pekerjaan di dapur. Saya ingin mencegahnya, tapi Marek kembali menghampiri konter dapur sambil marah-marah soal makanan. Untunglah Thomas akhirnya sampai dan mengingatkan Tendekai untuk segera meninggalkan area dapur.

“We are homeless but at least we deserve some dignity, man!” kata Tendekai sambil mengempaskan lap piring ke atas meja.

Malam itu, sekali lagi jarak di Shelter bertambah senjangnya.

Iklan

Satu pemikiran pada “Senjang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s