Saya tak sempat menanyakan nama asli bapak pengemudi bentor—becak motor—yang mengantar saya seharian keliling Banda Aceh, awal Juni lalu. Dia bilang, cukup panggil dia ‘Papa Gilang’, sesuai nama anaknya yang selamat dari bencana tsunami 10 tahun lalu.
Lelaki paruh baya asal Sidoarjo ini sudah puluhan tahun tinggal di Aceh, sejak masih bocah kelas 3 SD. Ayahnya yang marinir memboyong keluarga mereka ke Sabang dan menjaga batas barat Indonesia sampai tugasnya purna karena usia.
Karena itu, saya dan dua teman cukup tenang mempercayakan perjalanan kepada Papa Gilang. Rute hari itu: situs PLTD Apung, situs kapal Lampulo, pelabuhan Ulee Lheue, Museum Tsunami, Masjid Baiturrahman, lalu ke Pantai Lampuuk, dan terakhir toko oleh-oleh di Peunayong sebelum kembali ke penginapan. Keesokan harinya saya kembali ke Jakarta setelah seminggu berada di Kabupaten Aceh Utara untuk kepentingan pekerjaan.
Papa Gilang bukan hanya pengemudi bentor tapi juga pemandu yang andal. Dia lihai mencari jalan alternatif agar kami sampai sesegera mungkin. Sesekali dia menjelaskan keunikan tempat yang kami lewati tanpa diminta. Sepanjang hari, Papa Gilang mengantar kami dengan riang.
Namun, ada jeda yang kentara dalam bicaranya saat kami memasuki kawasan pusat kota. Suasana sejenak sendu karena melintasi Simpang Surabaya bagi Papa Gilang berarti membuka tabungan lara di hatinya.
Papa Gilang terpisah dari istri dan anaknya di sini, terempas gelombang air hitam lantas kehilangan kesadaran. Saat dia terjaga, Banda Aceh sudah tak karuan bentuk. Lalu yang dia tahu, orang-orang tercintanya itu menjelma jadi angka—2 jiwa dari seperempat juta korban bencana tersebut di seluruh dunia—lantas tidak pernah ketahuan jasadnya.
Tsunami 2004 jadi tengaran penting bagi entah berapa juta orang. Bencana yang berdampak ke 15 negara ini—hingga Yaman bahkan Afrika Selatan—tak hanya mengubah tanda fisik seperti perubahan garis pantai. Bencana ini juga jadi marka penting di ingatan mereka yang terdampak, yaitu mereka yang pernah bermukim di sana.
Saya mencoba mengujinya dengan bicara kepada sembarang orang di Banda Aceh, Faizah misalnya. Baru 5 menit bercakap, pemilik sanggar kerajinan di depan situs kapal Lampulo ini langsung bercerita tentang tsunami.
Sambil menggelar aneka tas bordir dibantu seorang gadis kecil, wanita asal Aceh Besar ini bercerita. Faizah baru lulus SMA waktu itu. Bencana terjadi Minggu pagi. Seingatnya gempa datang satu kali, lalu disusul air deras menggerus dua kali. Dia dan kakaknya selamat karena berhasil memanjat rumah sembarang yang bertingkat tinggi.
“Waktu itu adik ipar saya ini masih bayi. Dia selamat karena bisa ada di kapal itu,” katanya menunjuk ke kapal kayu nelayan yang terseret sampai ke atas rumah, penyelamat anak bungsu di keluarga suaminya itu.
Saya membayangkan sulitnya guru SD di sini mengajak murid-muridnya belajar membuat pohon keluarga tanpa sedu sedan berkepanjangan. Pastilah di sana-sini banyak bagian yang rumpang tanpa perlu ditanya kapan kakak atau ayah mereka wafat. Faizah sendiri tak pernah bertemu ibu mertuanya.
Sepanjang bicara tsunami dengan Papa Gilang maupun Faizah, setengah mati saya berusaha menghindari pertanyaan ala reporter TV One. Saya hanya bisa mendengarkan tanpa banyak mengelaborasi, sambil mengendalikan bulu tengkuk yang terus merinding.
Barangkali kecenderungan untuk berbagi ini adalah cara mereka katarsis, mengobati psikis diri sendiri. Faizah sendiri sudah mampu dengan bercerita ekspresi yang tenang walau mata coklat hazelnya terus menerawang, seperti tidak kuasa menatap lawan bicara.
Aida, teman saya yang asli Aceh bercerita, konon ‘ACEH’ adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Kabarnya itu pula yang menjadikan rupa orang Aceh mencerminkan kombinasi keempat ras itu. Letaknya di perlintasan sibuk Selat Malaka, karenanya Aceh jadi gerbang barang maupun orang bagi gugusan pulau di timurnya, sejak awal milenium kedua. Peradabannya berkembang dan jadi kompas kemajuan bagi daerah lain di Nusantara.
Ketika kaum kolonialis datang, Aceh mengajari kita tentang epos-epos perjuangan paling legendaris. Tentang strategi perang gerilya yang membuat Belanda menciptakan pasukan khusus Marsose. Tentang perempuan-perempuan perkasa pemimpin pasukan, walau kesahihan status penutup kepalanya masih jadi kontroversi di media sosial hari-hari ini. Tentang resiliensi prajurit-prajuritnya bertahan dalam perang terlama yang membuat kas Pemerintahan Hindia Belanda nyaris bangkrut. Tentang daerah yang paling akhir ditaklukkan penjajah.
Hanya saja, setelah memasuki era kemerdekaan, relasi Aceh dan Indonesia jadi hubungan yang terlampau rumit untuk dijabarkan di buku pelajaran sejarah.
Saya kehabisan kata-kata saat Jerni, salah seorang murid saya di Bima bertanya tentang perang saudara di sana. Dia tidak bisa mengerti sebab perkara satu orang Indonesia berperang dengan orang Indonesia lainnya. Saya ceritakan soal hikayat NII-GAM mulai dari Daud Beureuh sampai Hasan Tiro, tetapi sepertinya itu hanya membuat bocah kelas 6 SD ini tambah bingung.
Tentulah kebingungan berlipat kali yang dirasakan oleh Ibu Pipit, guru di Desa Bukit Pidie, Kecamatan Payabakong, Kabupaten Aceh Utara, saat menyaksikan SD tempatnya mengajar dibakar entah siapa. Waktu itu tikai GAM dan TNI sudah di ujung tanduk, terlebih kecamatan itu dikenal sebagai salah satu basis kombatan. Selama beberapa tahun dia harus berhenti mengajar sampai SDN 007 Payabakong kembali dibangun setelah perjanjian damai diteken di Helsinki tahun 2005.
Walau daerah Aceh Utara tidak terdampak langsung tsunami, kejadian di pengujung 2004 itu juga jadi tengaran waktu yang penting bagi masyarakat di sana. Orang-orang yang saya temui di sana–geucik, tengku, sampai kakek pedagang pala–selalu mengaitkan perjanjian damai dengan tsunami yang terjadi 8 bulan sebelumnya. Sorotan yang datang dari dunia luar setelah bencana saat itu dipercaya telah membuat kedua pihak mengendurkan ketegangan menahun dan duduk satu meja lewat mediasi eks Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
Sebagai bagian dari nota kesepahaman, Aceh punya undang-undang pemerintahan sendiri mulai tahun 2006. Bentuk-bentuk implementasinya di antaranya pemberlakuan hukum syariat Islam dan berdirinya parpol lokal. Saat ini, wakil rakyat dari parpol lokal mendominasi parlemen di sana. Gubernur Aceh terpilih saat ini pun salah satu petinggi Partai Aceh.
Perjanjian damai memang sudah jadi dokumen, namun perdamaian tidaklah serta-merta. Terkadang suasana di Aceh bisa kembali memanas saat konstelasi politik mungkin berubah. Saat masa kampanye Pemilu lalu, sebuah mobil berisi keluarga yang mengantarkan anak berobat habis ditembak oleh orang tak dikenal di jalan poros, diduga alasannya karena mobil tersebut berstiker salah satu parpol.
Seberapapun musykilnya pekerjaan menjangkau damai lewat perjanjian, agaknya saat ini hanya itulah yang bisa mereka andalkan. Nenek Phon, pemilik kedai kopi di Desa Dama Buleun, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, memajang surat edaran dari ormas lokal tentang pelaksanaan nota kesepahaman Helsinki persis di atas pintu masuk agar terlihat oleh semua pengunjung.
Saat menuju Peunayong, Papa Gilang mengemudikan bentornya melewati daerah Blang Padang. Di lapangan utama Banda Aceh itu ada dua monumen penting. Pertama, replika pesawat Dakota RI 001 Seulawah, sumbangan rakyat Aceh untuk pemerintah RI saat kita baru merdeka. Seulawah jadi kendaraan andalan Soekarno, Agus Salim, Syahrir, dkk berdiplomasi mencari pengakuan kedaulatan ke berbagai tempat. Kedua, monumen Thanks to The World, simbol rasa terima kasih rakyat Aceh atas bantuan dunia saat bencana menghantam.
Keduanya mendefinisikan Aceh hari ini. Tentang sejarah, tentang tsunami. Aceh, semoga selamat dan damai selalu.
Teman-teman di Aceh jangan sedih ya. Berdoa saja sama Allah. Insyaallah semua akan baik-baik saja. ~ Isi surat Jerni untuk sahabat pena-nya di Aceh Utara, 2011.
*Catatan saat saya mengunjungi Aceh Utara dan Banda Aceh, Juni 2014. Tulisan yang disampaikan di sini adalah pendapat pribadi.
**Tengaran=marka, penanda
***geucik=kepala kampung, tengku=pemuka agama