Para Perempuan Tambora

Medio 2011 hingga 2012 lalu, saya tinggal di sebuah dusun di kaki Gunung Tambora. Dusun Oi Marai namanya. Datangnya saya ke sana untuk menjadi Pengajar Muda, membaktikan setahun hidup untuk menjadi guru dan penggerak para aktor pendidikan di SDN Oi Marai.

Laut Flores di hadapan sekolah

Sekolah kami menghadap Laut Flores

Oi Marai adalah perkampungan transmigran yang berdiri sejak 2005 di atas hamparan lahan tandus bercadas padas, sisa erupsi dahsyat Tambora hampir 200 tahun lalu. Letaknya ada di kaki Tambora di selatan dan berbatas langsung dengan Laut Flores di utara. Secara administratif, dusun ini termasuk ke wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Saat mengenalkan diri saya kepada orang-orang yang saya temui di ibukota kabupaten, banyak yang terperanjat heran. Bagi sebagian mereka, pernah menginjakkan kaki apalagi menjadi guru di Tambora adalah prestasi.

Ada sejumlah pasal yang membuat Tambora tak jadi tempat penugasan favorit atau sekadar tujuan untuk dikunjungi. Letaknya paling jauh dari ibu kota kabupaten, butuh sekira tujuh jam bermobil disambung satu jam mengojek bila lewat jalur selatan.

Ayo naik trek!

Lewat jalur utara sedikit lebih ringkas, sekitar enam jam perjalanan. Namun kondisi jalan yang rusak, terbelah, dan menganga membuatnya hanya dapat dilalui truk (orang Tambora melafalkannya “trek” dengan e seperti pada teh). Penumpangnya? Kami duduk di bilah-bilah papan yang disusun jadi tempat duduk berjajar ke belakang.

Saban sang supir bermanuver menghindari lubang jalan yang erosi, saya bersiap mencengkram bilah papan duduk kuat-kuat agar tak menindih penumpang di sebelah. Anak-anak kecil biasanya kegirangan bila sensasi manuver datang, mereka sengaja melemparkan badan ke kanan kiri mengikuti arah gaya. Seperti sedang bermain menaiki Kora-kora di Dunia Fantasi saja!

Sensasi saat naik truk adalah salah satu hiburan sederhana anak-anak di sini. Tak banyak pilihan fasilitas di Tambora; listrik dan sinyal telepon seluler, maupun jangkauan siaran televisi belum tersebar merata. Untunglah untuk urusan pendidikan sudah ada SD di hampir setiap dusun, SMP di setiap desa, dan SMU di pusat kecamatan.

Melanjutkan pendidikan tinggi juga jadi tantangan di sini. Belum ada perguruan tinggi negeri di Kabupaten Bima. Biasanya yang punya cukup harta akan melanjutkan kuliah ke Mataram atau Makassar. Sebagian yang kuat merantau akan menjangkau hingga ke Jawa, misalnya Malang atau Yogyakarta. Pilihan pendidikan tinggi di bidang keguruan dan kesehatan adalah dua bidang yang cukup populer karena berpeluang merintis karir di kampung halaman.

Menjadi orang dari ‘Jawa’ di Tambora membuat saya sering kali dapat perhatian lebih. Warga akan sering mengajak bicara dan bertanya banyak. Bila sudah sampai pada pertanyaan, “Ibu Guru kuliah di mana?” saya jadi mengeluarkan segenap kreativitas untuk menjelaskan frase Jurusan-Arsitektur-Institut-Teknologi-Bandung.

Sungguh. Saya jangan sampai sakit hati bila yang bertanya malah tak antusias mendengar nama besar kampus Ganesha. Jangan pula saya jadi bangkit angkuhnya bila lulusan kampus keguruan kecil di Mataram atau Makasar dianggap lebih mumpuni jadi pengajar. Dari setahun saya di Bima, saya belajar segalanya tak selalu harus benar sejak kesempatan pertama. Ini semua tahapan dalam proses saling mengenal.

Saya pun hanya tersenyum geli saat Jerni, salah satu murid saya berceloteh, “Oh, Ibu Guru kuliahnya jadi orang kerja rumah seperti ayah saya,” sambil mengangguk-angguk seolah sudah paham. Jerni memang pribadi yang ekspresif dan percaya diri, walau kadang masih sering tantrum dan membuat pelajarannya tertinggal dibanding teman-teman sekelas.

Halo. Saya Jerni. 😀

Ayah Jerni adalah transmigran lokal dari kecamatan lain di Bima, salah satu satu warga dusun yang masih buta huruf karena putus sekolah di awal masa SD-nya. Sehari-hari, bapak tujuh anak ini bekerja serabutan, mulai dari jadi petani sampai buruh bangunan lepas. Barangkali karena ada irisan di bidang bangun-membangun maka Jerni berkesimpulan bahwa ragam tugas arsitek tak jauh dari pekerjaan ayahnya.

Bagaimanapun, warga sekolah maupun warga dusun tetap menaruh respek kepada saya karena saya adalah salah satu dari segelintir sarjana yang ada di Oi Marai. Selain saya, hanya guru agama, Drs Mansyur Salim dan guru kelas II, Salmah, SPd yang tamat jenjang S1. Kebetulan lagi, karena di belakang nama saya tersemat gelar akademik yang sama dengan Bupati Bima, beberapa anak murid jadi menganggap saya sama pintarnya dengan sang kepala daerah. Ada-ada saja.

Kenyataan minimnya wawasan masyarakat tentang pendidikan tinggi membuat saya terkesan saat pertama kali mengenal Ibu Rahmah, Kepala SDN Oi Marai. Di kemudian hari, beliaulah yang bersedia menjadi orang tua angkat saya selama saya tinggal di Tambora. Rumah kayu dengan pohon mangga yang rimbun di ujung RT 3 Dusun Oi Marai resmi jadi rumah kedua saya.

Selesai pembinaan Imtaq, anak-anak bersalaman dengan Ibu Kepala SDN Oi Marai

Beliau selalu menulis namanya dengan lengkap dan terang, Rahmah M Nur, BA. Gelar sarjana muda dia raih dari IKIP Mataram. Beliau berkuliah di sana sejak tahun 1978. Tak banyak tenaga kependidikan senior di Tambora yang punya gelar sarjana muda setingkat Ibu Kepala. Umumnya mereka ikut kuliah jarak jauh dari Universitas Terbuka atau penyetaraan gelar yang dilakukan Dinas Pendidikan.

Membayangkan Ibu Kepala berkuliah di era itu, dari Bima pergi ke Mataram, beliau seorang perempuan pula, membuat kekaguman saya tumbuh berlipat-lipat.

Saya jadi menebak-nebak motivasi orang tua beliau mau menguliahkan Rahmah muda sampai ke Mataram sana. Keluarganya bukan ningrat yang berada, namun Haji M Nur yang cukup dikenal luas sebagai guru mengaji tampak paham betul kewajiban menuntut ilmu bagi manusia, tak terkecuali anak perempuannya.

Lepas tamat dari sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), Rahmah muda yang sudah menjadi mahasiswi IKIP dititipkan oleh Haji M Nur ke rumah seorang kerabat yang menjadi dosen di Universitas Mataram. Perjuangan beliau untuk bisa menyelesaikan kuliah cukup berliku. Namun sepertinya semua terbayar saat ijazah sudah di tangan. Beliau pun memulai karir sebagai guru agama di Lombok hingga diangkat menjadi kepala sekolah di Tambora sejak tahun 2005. Sejak itu pula beliau bermukim di Oi Marai.

Kekaguman serupa juga saya temukan pada dua sosok di sudut lain Tambora, Ibu Sri Endang dan Ibu Purwanti. Keduanya masih muda, hanya berselang beberapa tahun di atas saya. Karena itu saya lebih sering memanggil Kak Sri dan Kak Pur kepada keduanya.

Mereka berdua adalah kakak angkat Beryl, Pengajar Muda yang ditempatkan di desa lain di Tambora, namanya Labuan Kananga. Desa ini menjadi pusat kecamatan, karena itu kondisi infrastrukturnya cukup memadai ketimbang yang lain.

Kak Sri dan Kak Pur adalah dua dari 11 bersaudara anak keluarga nelayan, pasangan Pak Umbu dan Ibu Baiyah. Saban sowan ke Kananga, keluarga Pak Umbu dengan tangan terbuka juga memperlakuan saya sebagai salah satu anak angkatnya. Sepertinya kasih sayang itu yang memperkaya hati keluarga ini, sehingga membuat saya selalu merasa hangat dan diterima di rumahnya.

Kak Sri adalah anak perempuan pertama yang jadi sarjana di keluarganya. Sedang Kak Pur menyusul di urutan berikutnya. Perjuangan dua putri Tambora ini hingga bisa memakai toga pun akan membuat kita mendecakkan kagum.

Betapa tidak? Saat Kak Sri akan melanjutkan sekolah ke bangku SMP di tahun 1990-an, Tambora belum menjadi kecamatan sendiri dan masih belum semaju sekarang. Belum ada jalan dengan perkerasan, transportasi masih menggunakan kuda, dan belum ada sekolah menengah. SMP terdekat ada di Kore, sekitar tiga jam bermobil dari Kenanga dengan kondisi jalan saat ini.

Di usia yang baru belasan, Kak Sri berangkat ke Kore untuk tinggal di salah satu kerabatnya agar bisa bersekolah. Seperti tak kenal lelah mengejar pendidikan terbaik, Kak Sri memburu SMA yang ada di ibukota kabupaten. Begitu tiba kesempatan berkuliah, Kak Sri melanjutkan ke IKIP Mataram. Kak Pur meneladani rute yang telah dirintis Kak Sri saat menapaki pilihan jenjang pendidikan.

Jika melihat keseharian Pak Umbu dan Ibu Baiyah nan sederhana, sepertinya tak terbayang bahwa putri-putri mereka akan jadi bagian dari sedikit orang terdidik di Tambora. Namun dari kacamata saya, dukungan keluarga pula yang telah mengantarkan Kak Sri dan Kak Pur sampai sejauh ini. Kesadaran bahwa pendidikan akan membawa kehidupan yang lebih baik telah dipegang bersama.

Kak Sri (kiri) dan Kak Pur (kanan) sedang berfoto di dermaga Pulau Satonda, dekat rumah mereka

Kini Kak Sri dan Kak Pur sudah kembali ke tanah kelahiran, menjadi guru SMP di Tambora. Saya pernah mendengar Kak Pur menasehati salah seorang muridnya agar rajin bersekolah, terlebih sekarang sudah ada SMP di Tambora yang letaknya dekat. Mungkin Kak Pur teringat masa-masa ia harus melawan kerinduan yang pekat akan keluarga saat menghabiskan masa belianya jauh dari rumah.

Setelah tunai masa tugas setahun menjadi Pengajar Muda, saya bersaksi tentang besarnya tantangan menjadi pendidik di tempat-tempat terjauh.

Menyaksikan kesenjangan yang nyata antara kemampuan anak didik di depan mata versus kelindan perkembangan ilmu-ilmu terbaru di luar sana, seringkali membuat saya risau memilih sisi yang lebih penting digarap.

Antara menekankan agar pemahaman semua murid cukup mendalam atau memastikan mereka lulus ujian.

Antara memberikan pengetahuan yang mereka perlukan atau mengajak mereka mengejar puncak-puncak prestasi.

Antara menggunakan seluruh upaya untuk memastikan kelas saya terajar sempurna atau meluangkan waktu untuk jadi rekan belajar guru lain agar mereka punya kecakapan serupa.

Semua kerisauan itu membungkus kekhawatiran paling mendasar di diri saya, “Apakah murid-murid saya mampu berjuang sekeras Ibu Kepala, sekuat Kak Sri atau setabah Kak Pur? Sehingga suatu saat mereka mampu mencicip nikmatnya mencapai cita-cita yang setiap hari mereka mohonkan saat doa pagi?”

Jerni sedang ngambek saat latihan ujian

Hingga akhirnya saya tertumbuk dengan definisi kecerdasan paling hakiki dari Howard Gardner, si pencetus teori intelegensia majemuk. Saya diingatkan lewat interaksi tak terduga bersama Jerni.

Sore itu, Ibu Kepala sedang ke kota sedang ayah angkat saya belum pulang dari kebun. Malam hampir turun saat Jerni akhirnya tiba di rumah saya. Dia akan menginap dan belajar tambahan dengan saya untuk mempersiapkan remedial sejumlah pelajaran. Saat pulang sekolah tadi, saya berpesan agar dia mengambilkan buah asam yang tumbuh di dekat rumahnya untuk bumbu ikan pallu mara yang akan saya masak.

“Ibu Guru, Ibu Guru! Asamnya ndak ada,” kata Jerni dengan napas memburu. Karena waktu maghrib akan tiba, dia mempercepat langkahnya menuju ke sini.

“Wah, bagaimana kita masak ikannya kalau begitu?” saya berucap sambil memandang ikan yang harus segera dimasak sebelum membusuk.

Resep pallu mara memang butuh buah asam untuk membentuk cita rasa kecut yang dikombinasikan rasa gurih dari bawang, pedas dari cabai, dan aroma khas kunyit bubuk. Pendek kata, pallu mara tanpa asam bagai sayur tanpa garam.

Dalam waktu yang semakin memburu karena hari bertambah gelap, Jerni keluar dengan ide tak disangka.

“Jerni tahu! Ini kan banyak buah mangga masih muda. Kita pakai mangga saja untuk ganti asam,” jeritnya sambil memburu buah mangga yang bergelayut di salah satu dahan di dekat dapur.

Kemudian kami pun tenggelam dalam kesibukan memasak pallu mara mangga dan menyantapnya bersama bapak. Ternyata dengan mangga pun rasa kecutnya pas.

Ingatan saya seketika mundur ke masa beberapa bulan sebelumnya, di salah satu kelas Pelatihan Intensif Pengajar Muda yang diadakan sebelum saya diberangkatkan. Munif Chatib, narasumber sesi tersebut menyampaikan definisi kecerdasan menurut pakar pendidikan Howard Gardner yaitu kemampuan manusia untuk menyelesaikan masalah dengan cara paling efektif.

Saya sepakat penuh dengan Gardner saat detik Jerni menjeritkan ide mangga itu.

Setelah hari itu, saya mengikis sedikit demi sedikit kerisauan tentang Jerni, juga tentang murid-murid lainnya.

Lewat sekolah, guru sudah membekali mereka dengan segala pengetahuan dia miliki. Jika memang anak-anak Oi Marai tak berkesempatan mencapai cita-cita yang pernah mereka inginkan atau tak sampai bersekolah ke kampus universitas manapun, maka sebagai gurunya saya telah ikhlas.

Karena hakikat kecerdasan adalah kemampuan menyelesaikan masalah sendiri. Sedangkan makna mendasar pendidikan ialah untuk membebaskan manusia dari perbudakan kebodohan. Prinsip-prinsip itu tak soal dengan tercapainya cita-cita atau jenjang. Keduanya ibarat bonus saja.

Toh murid-murid saya punya ruang kelas luas di kampus kehidupan. Kemampuan menyadap madu, menombak gurita, menenun kain, dan bercocok tanam adalah bentuk kecakapan juga. Menguasainya pun perlu proses belajar, gagal, hingga berhasil.

Saya yakin, kelak Jerni dan teman-temannya pun mampu berdiri sebagai teladan perempuan dari Tambora, lewat jalur kampus manapun yang mereka ambil.

Tabik.

 

🙂

***

Tulisan ini menjadi bagian dari buku Perempuan-perempuan Ganesha, kompilasi tulisan wanita alumni ITB, selengkapnya dapat dibaca di sini.

Iklan

8 pemikiran pada “Para Perempuan Tambora

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s