Ada satu kata khas di teras berita di halaman 148 Majalah TEMPO edisi khusus Pilpres, 30 Juni 2014.
“Struktur PDI Perjuangan belum berfungsi maksimal mengumpulkan suara buat Jokowi. Lebih banyak ditopang kelompok relawan.”
Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud relawan dalam kalimat di atas adalah orang-orang di luar struktur partai politik yang atas keinginan sendiri turut membantu pemenangan Jokowi. Mereka juga tidak dibayar dan tidak dimobilisasi oleh partai.
Di edisi 28 Juli 2014, TEMPO kembali menggunakan kata khas tersebut dengan judul majalah Jokowi & Para Relawan.
Teras berita dan judul di atas terasa wajar saja sampai saya coba mencari lema relawan di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan tidak menemukannya. Saya dirujuk untuk mencari arti kata sukarelawan.
Di situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dijelaskan, imbuhan -wan semestinya melekat pada kata benda. Arti imbuhan ini adalah orang yang memiliki benda seperti yang disebutkan pada kata dasar. Contohnya pada kata ilmuwan maka yang dimaksud adalah orang yang memiliki ilmu.
Karena itu, kata rela–berarti bersedia dengan ikhlas hati–merupakan kata kerja yang tak bisa serta-merta dilekati imbuhan -wan. Dalam kalimat lain, kata relawan itu tidak baku. Kata yang disarankan adalah sukarelawan yang berarti orang yang melakukan sesuatu tanpa rasa terpaksa.
Walau demikian, sepertinya kita sebagai penutur bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari lebih senang menggunakan kata relawan tanpa diawali ‘suka’.
Per 9 Juli kemarin, mesin pencari Google mencatat ada 4,5 juta hasil pencarian di jagat internet yang memuat kata relawan. Bandingkan dengan kata sukarelawan yang hanya 600 ribu hasil pencarian atau 7,5 kali lebih kecil.
Penyumbang penting hasil pencarian yang “salah” ini adalah para organisasi volunteering–baik politik maupun nonpolitik–yang galak menggunakan istilah relawan untuk para pegiatnya, semacam Gerakan Turun Tangan yang situsnya muncul di urutan paling atas untuk pencarian dengan kata ini atau Relawan TIK Indonesia di urutan kedua. Selain menjadi entitas di masyarakat digital, organisasi semacam ini pun aktif memproduksi konten dengan kata relawan sehingga keberadaannya jadi berlipat ganda di semesta maya.
Sementara, para pengguna kata sukarelawan di jagat internet umumnya adalah situs organisasi nonpemerintah yang memiliki afiliasi di luar negeri, semacam Unicef atau Voluntary Service Overseas. Sepertinya mereka menggunakan istilah yang baku karena sukarelawan merupakan padanan resmi dari kata volunteer.
Tren peningkatan popularitas penggunaan kata relawan versus sukarelawan pun terekam oleh Google. Dengan menggunakan fitur Google Trends, saya membandingkan frekuensi penggunaan kedua kata tersebut di jagad maya dengan mengerucutkan pencarian hanya untuk wilayah Indonesia.
Sepanjang 10 tahun terakhir, puncak penggunaan istilah relawan terjadi pada Januari 2005. Google Trends memberi nilai maksimal 100 untuk menggambarkan frekuensi penggunaan istilah relawan sepanjang bulan tersebut. Setelah itu, frekuensi penggunaan kata relawan tak pernah lagi menyundul ambang tertinggi. Bila dirunut, saya menduga penyebabnya adalah bencana tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004. Pada masa itu, ada banyak materi yang diproduksi di internet semacam ajakan menjadi relawan bagi korban tsunami maupun berita portal daring yang mengangkat kiprah para relawan.
Tsunami Aceh mengawali tren merebaknya kemunculan konten seputar relawan saat terjadi bencana alam. Fenomena ini muncul lagi pada November 2010 saat terjadi erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta. Google Trends melabeli bulan ini dengan nilai 19, bandingkan dengan Januari 2005 yang nilainya 100. Bulan lain yang mengindikasikan fenomena serupa adalah pada Oktober 2009 saat terjadi gempa bumi di Sumatera Barat dengan nilai 10 dan Februari 2014 saat terjadi erupsi Gunung Sinabung, Sumatera Utara dengan nilai 7.
Selain bencana alam, bencana kemanusiaan di Palestina juga jadi salah satu penyumbang puncak tren penggunaan kata relawan. Istilah “relawan gaza” masuk dalam tiga besar kata kunci terkait pencarian dengan topik relawan. Saat Israel melakukan agresi besar-besaran ke Gaza pada pertengahan tahun 2010, penggunaan kata relawan meroket juga. Terutama karena sejumlah relawan dari Indonesia ikut masuk ke wilayah Palestina. Google Trends mencatat nilai 32 bagi bulan Juni 2010.
Di samping relawan bencana alam dan kemanusiaan, relawan politik jadi penyumbang ketiga tren ini. Istilah “relawan Jokowi” menduduki peringkat pertama dan “relawan Prabowo” di peringkat keempat kata kunci terkait pencarian dengan topik relawan. Sepanjang tahun Pemilu, baik pada tahun ini maupun tahun 2009, frekuensi penggunaan kata relawan relatif terus tumbuh setiap bulan. Pada tren tahun ini, penggunaan kata relawan mencapai puncaknya pada bulan pemilihan presiden yaitu Juli dengan nilai 23.
Sementara itu, kata sukarelawan amat minim digunakan. Nilai frekuensi bulanannya nyaris selalu nol. Baru sejak Februari 2013 tercatat geliat pada Google Trends dengan nilai 1. Cetusan tertingginya–walau masih dalam kisaran nilai 1–terjadi Juli kemarin. Di bulan itu, Kompas.com menurunkan berita berjudul Inilah Sang Sukarelawan Piala Dunia dari Indonesia.
Menariknya lagi, media massa pun kadung lebih gemar menggunakan istilah relawan ketimbang sukarelawan yang jelas-jelas “anak kandung” bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain TEMPO, sejumlah media massa besar juga mendorong penggunaan kata relawan. Misalnya Kompas.com yang menulis judul Relawan Deklarasikan Jokowi Sebagai Capres atau Media Indonesia yang mengangkat judul Relawan Anti Pilpres Curang. Padahal ketiga media tersebut masih satu grup dengan koran yang langganan menerima penghargaan penggunaan bahasa Indonesia terbaik dari Badan Bahasa.
Dugaan saya, barangkali kata rela–yang berarti ikhlas hati–lebih populer digunakan karena maknanya lebih dekat dengan semangat yang diusung gerakan-gerakan itu, ketimbang kata sukarela yang bermakna tanpa paksaan.
Dugaan saya yang lain, mungkin saja istilah relawan lebih dapat diadopsi secara luas oleh masyarakat karena ada beban sejarah atas istilah sukarelawan yang sempat populer bergandeng dengan entitas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang populer di masa Orde Lama. Sukarelawan PKI yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai kemudian menjadi salah satu elemen kekuatan tentara untuk mengimbangi dominasi Angkatan Darat. Barangkali karena ditumpangi motif politik ini pula, kata sukarela mengalami peyorasi makna sehingga malah berkesan tidak suka dan tidak rela.
Di atas itu semua, ada pertanyaan saya yang belum terjawab oleh penjelasan Badan Bahasa di situsnya tadi. Jika kata relawan dianulir karena imbuhan -wan seharusnya hanya bisa melekat pada kata benda, anehnya sukarelawan ada di dalam kamus padahal kata dasarnya adalah kata sifat.
Toh, kalau sampai rela pasti awalnya sudah suka, kan?