Setiap mendapat kesempatan tinggal di hotel, hal pertama yang saya lakukan saat masuk kamar adalah mengecek kamar mandi. Saya akan melonjak girang saat mendapat kamar mandi dengan air panas, apalagi bila ada bak rendamnya.
Saya sangat suka mandi air panas; entah mengapa. Bahkan saat berendam di pemandian air panas, saya mencari sisi kolam yang dekat sumber mata air panas agar makin terasa. Padahal teman saya yang lain hanya berani mencelup-celup kaki karena tak tahan dengan panasnya.
***
Saya lahir dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran Bandung. Di kota sejuk dengan ketinggian di atas 660 meter dari permukaan laut inilah saya menghabiskan masa kecil hingga lulus kuliah. Orang tua saya pilih bekerja di Bandung selepas tamat sarjana, karena menurutnya ini kota yang sehat dan ideal untuk berkeluarga maupun membesarkan anak.
Saban pagi, saya berangkat sekolah bersama kakak dan anak sebaya lain yang masih SD dalam balutan jaket tebal masing-masing. Kami punya permainan favorit sepanjang jalan menuju perhentian mobil angkutan umum. Kami sering bermain pura-pura “merokok” dengan cara menghembuskan napas yang berembun dengan tangan yang bergaya mengempit lintingan keretek.
Ya, Bandung di pertengahan tahun 1990-an memang sedingin itu. Ketika siaran Berita Nusantara TVRI mengudara di jam 7 malam (ini produk kebijakan Orde Baru banget), saya hampir selalu menyimak program prakiraan cuaca agar tahu suhu Bandung esok hari. Hanya Bandung saja kota besar Indonesia yang selalu punya pagi bersuhu di bawah 20 derajat Celcius. Di musim kemarau, rasa dingin justru makin menjadi. Suhu bisa drop hingga 16 derajat Celcius.
Maka bagi mama, setiap pagi adalah perjuangan besar melawan rasa dingin. Bukan perjuangan untuk dirinya, melainkan untuk membangunkan dua anak tertuanya dan menyiapkan mereka untuk berangkat sekolah. Ternyata diam-diam, Mama punya strategi rahasia. Sepanci air yang dijerang sampai mendidih adalah jurus andalannya. Di rumah kami tak ada water heater, mandi air panas jadi kemewahan langka.
Kemudian yang terjadi adalah semacam kompetisi. Bagi sesiapa anak yang sanggup bangun lebih awal, kesempatan mandi dengan air panas adalah hadiahnya. Seketika, saya dan kakak jadi segera terjaga dan berebut mandi begitu mama bilang ada air panas.
Barangkali, saya suka mandi air panas karena hal inilah yang mampu membuat saya seketika terkenang masa kecil, rumah, dan jerih payah mama. Semua sekaligus.
***
Pekan lalu saya dan beberapa teman lain berkesempatan mengunjungi Kampung Nyalindung, Subang, Jawa Barat dalam Kunjungan Sehari Media dan Blogger bersama AQUA.
Di dusun berpenghuni sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) ini, kami menengok implementasi projek penyediaan sarana air bersih, yang jadi salah satu CSR AQUA. Nyalindung adalah salah satu daerah sasaran program WASH (Water Access, Sanitation, and Hygiene) dari perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) nasional ini, bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat (PESAT) yang memfasilitasi di lapangan.
Perjalanan ke dusun ini membuat saya kembali teringat Bandung. Selain letaknya dari permukaan laut yang hampir selevel dengan Bandung, topografinya pun hampir mirip karena juga berkontur. Pengemudi mobil yang kami tumpangi harus lincah menyetir saat melaju di jalanan yang naik turun. Udaranya, yang juga segar dan sejuk, tepat untuk menumbuhkan pucuk-pucuk daun teh di perkebunan yang kami lewati sepanjang jalan.
Saat akan melewati sebuah tikungan yang agak menanjak, kami bertemu rombongan siswa SD yang akan berangkat sekolah. Para murid berseragam Pramuka itu melambaikan tangan penuh semangat ke arah mobil kami. Beberapa di antara mereka cekikikan geli sambil tersipu-sipu waktu mobil melambat, kami membuka jendela dan menyapa balik.
Karena Nyalindung terletak di daerah berkontur dan penghuninya tersebar di berbagai sisi kampung, mereka punya tantangan dalam mendistribusikan air bersih.
Sebenarnya mereka punya sumber air yang jernih dan debitnya tinggi, namun posisi mata air lebih rendah dari rumah warga. Alhasil sebagian warga harus mengangkut air secara manual ke rumah mereka. Ada juga yang menyalurkan air dengan selang namun tekanan mata air tak seberapa kuat untuk menaklukkan kontur dataran Nyalindung.
Pak Wawan Gunawan dari PESAT bercerita bahwa dalam mengatasi tantangan ini, perlu pihak yang memiliki kapasitas dalam hal teknologi distribusi air. Hal ini karena masyarakat kampung sudah siap memberi kontribusi dari sumber daya yang mereka miliki, Pesat pun telah punya pengalaman panjang memberdayakan warga di Subang, namun tetap ada kekosongan di sisi teknologi. Di sinilah AQUA mengisi peran yang senjang itu.
Pak Okta Fitrianos dari AQUA menuturkan bahwa narga Nyalindung tahu bahwa ada sejumlah mata air dengan debit yang cukup untuk satu kampung di perbatasan dengan kampung tetangga. Sayangnya letaknya agak rendah, di dekat sawah. Untuk itu, agar bisa mengaliri rumah yang lokasinya di tempat yang lebih tinggi, air dari mata air ini “ditangkap” dan dimasukkan ke sebuah bak penampungan.
Dari penampungan ini, air dipompa ke bak penampung lain yang kapasitasnya lebih besar dan terletak di tempat yang tinggi. Dari penampungan yang letaknya lebih tinggi itulah air kemudian dialirkan ke pengguna dengan mengandalkan gravitasi. Ternyata tak hanya rumah yang menikmati kucuran air bersih ini, melainkan juga beberapa usaha kecil seperti Warung Baso Ceu Titi di pojok jalan desa.
Konsep instalasi distribusi air bersih tersebut sebenarnya sederhana. Namun bagi saya, bagian paling keren dari projek ini yaitu saat tahu bahwa mengalirnya air bersih ke rumah-rumah warga adalah perwujudan kontribusi banyak pihak saat mengatasi kendala-kendala yang menghadang.
Misalnya saja waktu akan membangun bak penampungan awal. Tanah yang cocok untuk menjadi tempat penampungan ternyata sudah masuk wilayah kampung tetangga. Untuk membebaskannya diperlukan biaya Rp 10 juta. Penghadang ini berhasil dilewati berkat kesanggupan warga Nyalindung untuk urunan uang pembebasan lahan.
Kemudian, juga diperlukan tanah untuk membangun bak penampungan sebelum pemompaan sekaligus rumah pompanya. Kali ini, sesepuh kampung yaitu Mak Epih turun gunung mewakafkan sebidang tanah miliknya untuk digunakan begitu saja.
Penghalang belum berhenti sampai di situ. Masih ada kebutuhan biaya listrik yang digunakan untuk menghidupkan pompa. Setelah projek ini bergulir, diketahui bahwa butuh sekitar Rp 700 ribu per bulan untuk membayar listrik. Setelah melalui proses edukasi, disepakati bahwa biaya listrik bulanan akan ditutupi dari iuran pengguna air yang akan membayar sesuai pemakaian masing-masing. Kini bahkan ada surplus iuran yang bisa digunakan untuk kegiatan lainnya seperti masjid.
Sekarang, saat seorang anak di Nyalindung bangun pagi dengan enggan untuk bersiap berangkat sekolah, dia bisa dengan mudah pergi ke kamar mandi, memutar keran, dan mendapati kucuran air bersih di bak mandinya. Bisa jadi dia adalah anak Ceu Titi, cucu Mak Epih, atau anak-anak yang kami temui saat naik mobil tadi. Mereka tak perlu lagi memikul air dari tempat yang jauh atau menonton selang sambil berharap ada air yang keluar.
Saya membayangkan ketika mereka besar nanti dan melihat kucuran air bersih di bak mandinya sendiri, mereka akan mengalami kilas balik ingatan ke masa kecil mereka ketika di Nyalindung; seperti yang saya rasakan saat mandi air panas.
Bahwa pada setiap percik air mandi mereka sewaktu mau berangkat sekolah dulu, berasal dari kontribusi banyak pihak. Ada iuran ayah-ibunya, kelapangan hati para sesepuh, kerja keras perangkat masyarakat, gotong-royong warga seisi kampung, dan kontribusi AQUA. Semua sekaligus.