Macet dan Keberanian Mas Agustin

Kemarin saya pulang dari rumah kawan lama di daerah Jatiasih, Bekasi. Waktu sudah pukul 21 malam, saya berpamitan kemudian diantar empunya rumah ke Halte Transjakarta Pinang Ranti yang dapat dijangkau dengan 20 menit bermotor dari rumahnya.

Jarak Pinang Ranti ke kos saya di bilangan Karet, Setiabudi di atas peta memang hanya 15 kilometer. Google Maps bilang hanya butuh waktu 23 menit untuk berpindah posisi di antara kedua titik itu. Tetapi bila memasukkan berbagai faktor lain, sebut saja macet—karena busway Pinang Ranti belum punya jalur khusus—atau ketersediaan bis, tentu kebutuhan waktu tadi bisa melar berkali lipat.

Syukurlah malam itu saya beruntung. Bus Transjakarta sedang nangkring asyik menunggu penumpang berikutnya, dus lalu lintas akhir pekan itu tak terlampau macet. Bus Pinang Ranti-Pluit bisa melesat lancar di Jalan Raya Pondok Gede lalu masuk ke tol Jagorawi lalu keluar persis sebelum Halte Cawang UKI untuk kemudian berjalan sepanjang koridor regulernya di Gatot Soebroto.

Dalam 45 menit saya sampai di Halte Semanggi. Sekali lagi saya bersyukur dalam hati dan membatin, memang sudah begini semestinya kota metropolitan, punya sarana transportasi publik yang mumpuni.

Namun seketika itu juga saya teringat salah satu cuitan Agustinus Wibowo di linimasanya. Waktu itu, Mas Agustin mengeluhkan bus Transjakarta yang tak kunjung datang padahal dia sudah menunggu 1,5 jam di Halte Pinang Ranti. Sungguh nasib yang terjungkir dibanding yang saya alami tadi.

Padahal, ketika bertemu dengan penulis Titik Nol itu beberapa hari sebelumnya, dia berkata kepada saya bahwa sudah memutuskan akan menetap di Jakarta, setelah tahunan berdomisili di tanah leluhurnya di Tiongkok sana. Dia sempat mencoba tinggal di Surabaya, namun akhirnya pilihan kembali ke ibu kota negara.

Apa pasal?

Menurut Mas Agustin, dia berani mengambil keputusan itu karena baru Jakarta yang punya sistem angkutan umum yang cukup baik di antara kota-kota besar di Indonesia. Ada bus Transjakarta, kereta Commuterline, dan beberapa moda lainnya. Plus, dia optimistis kondisinya akan semakin baik di masa mendatang.

Saya sepakat dengan argumen Mas Agustin.

Selain di Jakarta, saya pernah tinggal dan singgah di beberapa ibu kota provinsi yang lumayan punya skala untuk disebut kota besar di Indonesia: Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, Palembang, Medan, Serang, Pekanbaru dan Pangkalpinang.

Hanya di Jakarta dan Bandung saja saya merasa nyaman berpindah dengan angkutan umum. Selain itu, teman atau saudara yang bermukim di sana akan menyarankan, “Lebih enak bawa motor atau mobil sendiri, Shal.”

Awalnya saya sempat heran dengan keputusan Mas Agustin. Biasanya orang yang pernah tinggal di kota metropolitan yang lebih tertata dari Jakarta akan ogah kembali ke sini. Setidaknya beberapa teman saya yang pernah kerja di Singapura berpendapat demikian. Biasanya karena akumulasi penyakit ibu kota makin kronis, apalagi perkara transportasinya.

Perlu jam-jaman untuk mencapai rumah di daerah suburban pada Jumat malam yang berhujan lebat. Demikian macet dan lamanya hingga suatu kali teman saya beranekdot, “Gila lama banget Jumat kemarin gua baru sampai di Depok hampir tengah malam padahal dari kantor cabut dari jam 7. Ke Bandung aja nggak selama itu!”

Sebagai orang yang sering mudik ke Bandung di akhir pekan, saya langsung menimpali tak kalah serunya, “Kalau Jumat malam dan hujan, gua pernah butuh delapan jam untuk sampai Bandung!” Pembicaraan kami ditutup ketawa miris.

Benang merah keduanya sama. Kelewat banyak kendaraan yang menjejali jalan, melampaui daya dukungnya. Dalam tiga tahun terakhir, ada empat juta kendaraan baru yang meluncur di jalanan Jakarta. Sepertinya ini kombinasi pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan plus pertumbuhan penduduk terutama di pinggiran Jakarta.

Magnet urbanisasi menyedot jutaan pendatang ke ibu kota. Kebanyakan mencari nafkah di Jakarta lalu tinggal di pinggirannya. Pertumbuhan penduduk di Bodetabek berkisar 4-6 persen per tahun, konsisten melampaui pertumbuhan penduduk nasional 1,49 persen per tahun. Para penglaju berkecukupan ini mampu membayar fasilitas nyaman untuk menunjang pola mobilitas mereka.

Sementara itu kapasitas angkutan umum sendiri hampir sampai di nadirnya, pada jam-jam puncak. Cobalah naik kereta dari Depok jam 7 pagi dan Anda akan mendapati diri bisa setimbang tanpa berpegangan ke manapun karena tergencet sempurna dari semua sisi. Atau perhatikan seberapa panjang antrean mengular di jalur transit Halte Dukuh Atas 1 dan 2 di sore hari. Saya pernah berdiri hampir dua jam di sana hanya untuk mendapatkan giliran naik bus ke Ragunan.

Pemerintahan Jakarta baru ini memang bawa angin segar. Jokowi dan Ahok berani mengambil kebijakan mendahulukan keberpihakan kepada angkutan umum. Mulai dari sterilisasi busway, pengadaan ribuan bus untuk memendekkan interval kedatangan Transjakarta, sampai eksekusi pembangunan MRT. *Walau agak sedih kehilangan kerimbunan di sepanjang Sudirman sih, hehe.

Beberapa hari lalu, saya dengar wacana pemberlakuan ‘5 in 1’ untuk jalananan protokol di Jakarta. Memang kebijakan ini akan menyuburkan joki atau efek samping tak diinginkan lainnya. Namun kita memerlukan disinsentif semacam itu untuk mendorong perubahan ke arah yang kita harapkan, selain membuat alternatif-alternatif solusi seperti di atas. Cepat atau lambatnya, penduduk Jabodetabek sendiri yang menentukan.

Mungkin perlu lebih banyak orang seperti Mas Agustin. Orang-orang yang (mampu) punya mobil, tetapi berani meninggalkannya di garasi rumah atau tempat parkir bersama dekat stasiun atau halte, lalu menggunakan angkutan umum yang tersedia. Berani ambil risiko menunggu lama, kehujanan, atau kepanasan dari pada menjebakkan diri dalam pusaran kemacetan ibu kota yang makin hari makin tak masuk akal.

Karena untuk menangkal kegilaan, butuh keberanian.

A developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transportation. ” – Gustavo Petro, Mayor of Bogotá

Iklan

3 pemikiran pada “Macet dan Keberanian Mas Agustin

  1. Hai Shal,
    Eaa, ngeblog juga ^^
    Ngomong soal transportasi di ibu kota emang nggak ada matinya.
    Ya busway, ya metromini, ya KRL, dan semua keluarganya itu punya cerita.
    Dan beginilah kita, si pengguna yang setia, hanya bisa mengelus dada, ngedumel.
    Tapi ternyata, ada yang lebih baik daripada itu, menulis!
    Ya, menulis.
    Berharap banyak yang membaca dan terinsipirasi karenanya..

    PS. Busway Harmoni-Lebak bulus juga setengah mati nunggunya. Apalagi pas jam pulang kerja. Antriannya bikin gila, kadang mau nangis rasanya haha. Lebih pilih naik metromini jurusan Blok M, lalu lanjut lagi yang lain.. udah lega aja rasanya, klu udah sampe Blok M

    #happyblogging

    • Hehe iyaa. Ini blog dari zaman ngeblog bikin eksis alias taun 2006-an. Haha. Belakangan telantar.. Baru sempet bebersih lagi nih. Kalo blogmu aku sering baca juga 😀

      Yap begitulah. Metromini juga bagian dari mass transport kan. Denger2 kebijakannya semua bakal diremajakan. Semoga kita bisa hidup beradab di ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri ini 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s