Arsitek Murtad

Mungkin sudah ratusan kali saya ditanya mengapa tak jadi arsitek.

Kalau Anda pernah bertanya demikian, mungkin ingat bahwa saya akan selalu punya dalih. Saya lebih passionate menulis daripada menggambar-lah. Saya merasa kemampuan desain saya tergolong semenjana sehingga tidak kompetitif bersaing-lah. Saya salah jurusan pas masuk kuliah-lah. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Tetapi mungkin sebenarnya saya—dan entah berapa banyak arsitek murtad lainnya—hanya ketakutan menjejak banalnya pilihan-pilihan menjadi arsitek di dunia nyata, di luar ruang studio kami nan nyaman dan beradab itu.

Setakut saya saat datang ke Gramedia lantas melihat seri buku Francis DK Ching atau Wastuwidya-nya Romo Mangun dikepung kawanan berpuluh buku dengan kertas art paper full color di rak “Arsitektur”, dengan judul yang tak jauh-jauh dari semacam 50 Tipe Rumah Minimalis Hemat.

Atau saat memasukkan kata kunci “ruang+tamu+arsitektur” di laman mesin pencari Google, kemudian yang keluar adalah deretan situs jasa desain yang berlomba menawarkan harga paling murah dan tentu saja, model minimalis.

Atau saat didatangi staf penjualan sebuah komplek perumahan di Bandung yang mengatakan produk yang dia jual adalah istimewa. Apa pasal? Karena jualannya adalah jenis pertama di Bandung yang mengadopsi konsep foyer sehingga rumah itu lebih ‘asri’.

Seketika saya membacakan definisi foyer dari glosarium Time Saver Standards kepada si sales. Sungguh. Apa urusan foyer dengan keasrian?

Saya sadar bahwa arsitektur di dunia nyata tak harus melulu seideal selalu memenuhi kaidah segitiga utilitas-firmitas-venustas atau fasih bicara adagium form follow function. Tetapi tentulah arsitektur harus tetap memenuhi tugas hakikinya, yaitu membahagiakan manusia yang tinggal di dalamnya.

Pada kenyataannya hal itu tak selalu serta merta.

Ada terali-terali tak terlihat yang jadi jeruji penghalang. Entah peraturan. Atau budaya. Bisa juga angin kebijakan yang belum menghembus ke arah yang diharapkan.

Saya angkat topi kepada beberapa kakak kelas yang mendirikan konsultan sendiri dan menghidupi mimpi-mimpi arsitektur mereka dari sana. Saya juga salut kepada teman-teman yang tekun menempa keterampilan teknis desain sehingga mampu memenuhi standar industri di negeri jiran. Saya juga respek kepada beberapa rekan kuliah yang mengambil pilihan tak populer seperti menekuni bidang riset arsitektur.

Pilihan saya memang berbeda. Tetapi ketahuilah kawan, yang ini pun tak kalah menantang.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s