Sebelum menginjakkan kaki di Pulau Sumbawa, saya tak menyangka di bagian selatan Gunung Tambora ada padang sabana yang entah berapa kilometer persegi luasnya, macam di Afrika saja. Padang Doroncanga ini berupa dataran lapang bertutup rumput kekuningan dan jumputan perdu. Ada pula segerombol kaktus dan pohon berkulit keras yang membentuk vegetasi vertikal di beberapa titik penjuru. Keindahan lansekap ini ditingkahi lincah gerak kuda sandel, suara kunyahan rumput dari mulut sapi bali, hingga lenguh malas kerbau rambut panjang yang digembalakan di atas hamparannya.
Pemandangan inilah yang selalu jadi santapan mata saya saban berkendara dengan bis Dunia Mas, angkutan umum yang membawa kami ke pusat kabupaten. Bis ini satu-satunya moda transportasi publik yang sangat diandalkan penduduk kecamatan untuk mendekatkan kami dengan pusat kemajuan di kota. Setelah beberapa kali menggunakan jasanya, saya menyimpulkan pengguna bis ini dapat dikelompokkan menjadi kategori kepala sekolah dan guru yang sering urus ini-itu di kota, para pedagang yang punya jejaring bisnis dan kolega di pusat kabupaten, atau perangkat desa yang punya kerabat di sisi lain kabupaten ini.
Butuh tak kurang dari tujuh jam untuk melibas jarak antara Tambora dan pusat kabupaten Bima, dua jam di antaranya habis untuk melintasi Doroncanga. Karena itu, adanya padang ini sungguh jadi penghiburan yang bermutu untuk saya—ketimbang harus mendengarkan lagu disco-campur-rock-plus-dangdut versi musisi setempat yang diputar supir dengan volume memekakkan.
Suatu kali, di tengah keterpukauan saya akan pemandangan ala serial lama Little House on the Prairie itu, dari kejauhan terlihat ada sesosok wanita muda yang menggendong anak, berdiri di pinggir jalan. Wanita itu menyetop bis dengan isyarat tangan lalu mereka duduk di belakang saya.
Si anak yang sepertinya masih balita kelihatan kurang sehat. Wanita yang kemungkinan ibunya itu terus mengelap keringat yang deras mengalir dari kening mungil bocahnya. Dari komat kamit ceracau si wanita, sepertinya mereka sedang dalam perjalanan mencari upaya pengobatan di kota terdekat.
Saya heran. Baru kali ini ada penumpang bis yang naik di tengah-tengah Doroncanga. Saya memicingkan mata lalu melepas pandangan ke luar jendela, mencoba menerka dari mana mereka datang. Tak ada satupun bangunan berdiri sejauh mata memandang ke arah padang luas itu, baik rumah penduduk ataupun kantor pemerintahan. Hanya ada seulas tipis jalan setapak yang hampir tak kentara di mata. Jejak perpindahan manusia itu hilang di cakrawala yang mempertemukan Tambora dan Doroncanga.
Penumpang yang duduk di sebelah saya bilang, ada sekumpulan penduduk yang berkampung di hulu jalan setapak itu. Saya manggut-manggut sambil membayangkan ukuran jarak yang harus mereka tempuh sampai bisa menyetop bis ini. Saya lantas mencoba menerka-nerka rupa kampung mereka sampai keduanya harus menempuh jarak sedemikian jauh untuk berobat. Barangkali di sana tempatnya mirip dengan dusun yang saya diami selama menjadi Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang bertugas di pelosok utara Tambora.
***
Selama setahun saya tinggal di Dusun Transmigrasi SP3 Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat untuk menjadi guru di SDN Oi Marai. Di sini, saya mengampu tugas sebagai wali kelas VI dan mengajar hampir semua mata pelajaran kecuali Agama dan PKn. Sebagai guru, selain bertugas di sekolah, saya juga mencoba mengajak orang tua dan masyarakat untuk peduli dan ikut memajukan pendidikan di kampung kami.
SP 3 artinya Satuan Permukiman nomor tiga. Nama semacam ini biasanya disematkan untuk kampung transmigrasi program pemerintah. Kata tetua di desa sebelah, semula di sini tak ada manusia yang berdiam, hanya padang dan ilalang semacam di Doroncanga. Bedanya, permukiman di Doroncanga tadi terletak jauh dari jalan lintas kabupaten, sedangkan kampung saya didirikan persis di pinggirnya.
Kampung kami kecil saja. Penghuninya kurang dari 60 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal menyebar di petak-petak ladang transmigrasi. Perjalanan dari Sungai Oi Marai yang menjadi batas timur kampung ke rumah di ujung paling barat dusun cukup butuh satu jam dengan berjalan kaki. Maklum, kampung ini memang baru dibentuk. Sewaktu saya pertama tiba kaki di sana, tahun 2011, usia dusun ini baru satu windu.
Di umurnya yang masih muda, kampung kami punya banyak tantangan. Lokasinya yang terpelosok ini belum jadi idaman banyak orang untuk berdiam karena fasilitas macam listrik dan jangkauan sinyal telepon sangat terbatas. Fasilitas dasar–semacam balai dusun, gedung sekolah tiga lokal, juga bangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Pos Bersalin Desa (Polindes)–memang sudah tersedia, namun manusia yang bertugas menggerakkannya tak selalu siaga di tempat.
Ketiadaan mereka bukan hanya menghentikan roda pelayanan bagi warga yang membutuhkan, tetapi juga berdampak kepada minimnya wawasan dan kesadaran di masyarakat secara luas. Hal ini pernah saya rasakan di bulan kedua tinggal di Oi Marai.
Pagi itu muridku, Haryati, lagi-lagi tak masuk sekolah. Dia sudah alpa dua hari berurutan. Kata siswa yang lain, Haryati absen lantaran kena penyakit ‘bintik-bintik’. Karena tak paham maksud mereka, kemudian saya mencari dua adik Haryati yang duduk di kelas III dan I untuk mencari informasi lebih lengkap.
Setelah saya bertemu Azwar dan Khadijah, barulah saya paham bahwa ternyata yang disebut penyakit ‘bintik-bintik’ adalah semacam cacar.
Bekas lentingan di kulit yang sudah pecah terlihat mulai mengering di wajah Khadijah, sedangkan di muka Azwar baru mulai keluar sebagian. Selain mereka berdua, Zainab dan Rosita juga terkena wabah serupa. Siswa-siswi kelas IV juga melapor bahwa dua murid yang tinggal di RT 1 absen dari sekolah karena keluar bintik-bintik yang sama.
Kepingan puzzle di otak saya bersusun cepat.
Klop. Tiga bersaudara Haryati-Azwar-Khadijah pun warga RT 1. Sepertinya cacar ini mewabah di antara penduduk yang tinggal di gang paling timur dusun ini. Selepas bel pulang dibunyikan, saya bergegas mengunjungi rumah-rumah di sana.
Ternyata wabah cacar tak cuma mendera para kanak. Ketua RT dan ibu dari Zainab juga ikut terkena. Setelah saya hitung, ada 18 orang yang baru-baru ini terserang cacar dan hanya satu dari 14 KK di RT 1 yang tak ikut terkontaminasi.
Wajar bila penyebaran penyakit ini demikian cepat, tak ada satu pun masyarakat yang mengerti soal pencegahan dan penanganan cacar. Ingin bertanya pun, tak ada ahli yang paham. Mereka beranggapan ini merupakan sakit kulit serupa koreng yang disebabkan perubahan cuaca. Warga juga tak tahu bahwa virus penyakit ini menular cepat lewat perantara udara dan sentuhan kulit karenanya penderita cacar tidak boleh berinteraksi dengan yang lain seperti hari-hari biasa.
Sebelum pamit pulang, saya berpesan kepada orang tua Haryati, Azwar dan Khadijah agar menjauhkan para kakak dari adik bungsu mereka yang masih sehat. Hal serupa juga saya sampaikan kepada warga lain.
Di tengah perjalanan kembali ke rumah saya di RT 3, saya didera gamang. Belasan orang terkena penyakit menular lalu apa yang saya bisa lakukan?
Ingin mencari solusi ke Pustu, bangunan tanpa penghuni itu tak pernah berfungsi.
Ingin menghampiri Polindes, pos itu hanya digunakan untuk Posyandu sekali sebulan.
Ingin melapor ke Puskesmas di pusat kecamatan atau ke bidan di desa sebelah, jaraknya terlampau jauh untuk ditempuh dengan kaki padahal semua pemilik motor sedang pergi ke kebun.
Pesimisme mulai menggelayuti diri saya. Di tempat fungsi negara nyaris absen seperti di sini, ke mana lagi hendak menggantungkan ikhtiar soal hidup?
Untunglah saya ingat bahwa pernah berkenalan dengan Bidan Idjo, yang juga adik ipar kepala Kantor Cabang Dinas Pendidikan, sewaktu sowan ke kecamatan tempo hari. Saya akan bertanya kepada dia saja. Semoga beliau bisa memberikan pencerahan tentang solusi yang dapat dilakukan.
Saya pun membelokkan arah pulang dari rumah ke tebing di bibir pantai. Saya menyebutnya ‘tebing sinyal’ karena hanya di sinilah terdapat sinyal ponsel dalam radius 20 kilometer di desa kami. Sambil harap-harap cemas karena kualitas sinyal di sini hanya sekelas GSM alias geser-sedikit-mati dan membuat telepon saya selalu gagal tersambung, saya pun mencoba menghubungi Felly, teman saya yang dokter, via pesan singkat mengenai cara penanganan cacar.
Syukurlah sinyal akhirnya berpihak kepada saya, Bidan Idjo bisa dihubungi dan memberi respon dengan sigap. Walau percakapan kami singkat, dia memberitahu saya sejumlah poin penting terutama bahwa kondisi ini bisa digolongkan sebagai kejadian luar biasa bila menimbang jumlah pasien yang terjangkit. Dia juga menyarankan saya untuk menghubungi kepala Puskesmas untuk melaporkan temuan ini. Kepala Puskesmas.
Di luar dugaan saya, pihak Puskesmas berlaku sangat tanggap. Tak lebih dari dua jam setelah telepon saya, mobil Puskesmas Keliling datang membawa mantri, bidan, dan obat-obatan. Mereka membuka pos pengobatan di rumah ketua RT 1.
Lucunya petugas Puskesmas hanya memberikan antibiotik bagi warga yang terkena cacar. Seingat saya, mengalahkan virus cacar mestilah menggunakan antivirus. Sewaktu saya klarifikasi ke Felly, dia mengiyakan memori saya. Antibiotik tak sama dengan antivirus. “Untungnya cacar itu self limiting disease jadinya kalau pasokan nutrisi dan istirahatnya mencukupi, penderitanya bisa sehat lagi. Mudah-mudahan di desamu juga begitu,” tulis Felly di pesan singkatnya.
Wabah cacar di RT 1 menjadi kejadian yang diingat oleh warga kampung kami. Ini jadi pengetahuan baru bagi mereka bahwa ada penyakit menular yang patut diwaspadai selain malaria.
***
Tambora terkenal sebagai salah satu daerah endemik malaria di Kabupaten Bima. Selain karena kondisi bentang alamnya yang masih terpelosok, didominasi kebun dan hutan—habitat kesukaan nyamuk penyebar sporozoa penyebab malaria—fasilitas plus tenaga kesehatan adalah barang langka di sini. Kombinasi faktor-faktor tersebut membuat malaria amat ditakuti penduduk di sini. Selain membuat korban jatuh sakit, tak jarang pula malaria sampai merenggut nyawa.
Ketakutan yang teramat terhadap malaria ini kadang membuat warga Tambora mudah menduga penyakit seseorang. Sekilas saja orang tersebut kelihatan pucat dan lemas, penduduk kampung akan langsung menganggap dia terkena penyakit malaria. Tak jarang pula, walau belum ada diagnosis resmi dari dokter, para tetua di masyarakat memberikan pil kina atau obat malaria lainnya untuk diminum yang bersangkutan.
Sekali waktu, Jannah anak Ibu Rusminah menunjukkan tanda seperti di atas. Karena upaya minum obat sendiri ternyata tak membuahkan hasil, akhirnya siswi kelas 1 SD itu dibawa orang tuanya ke kota kecamatan untuk berobat.
Sayangnya, penduduk dusun saya enggan berobat ke Puskesmas. Mereka lebih percaya kepada khasiat suntik oleh Mantri X. Selain karena berobat ke Mantri X itu ‘lebih cepat sembuh’, tak selalu ada dokter PTT yang bertugas dan di Puskesmas hanya ada bidan yang sedang magang. Tentu rekam jejak pengalaman puluhan tahun milik Mantri X lebih meyakinkan warga.
Tarif berobat ke Mantri X sangat mahal, jauh beda dengan Puskesmas yang gratis. Tak kurang dari Rp 100 ribu harus dikeluarkan per suntikan. Belum lagi ada rumor yang beredar, oknum mantri ini suka memperjual belikan kesehatan. Setiap pasien disuruh memilih ingin pakai obat suntik macam mana. Ada versi mahal dan murah, yang lebih mahal tentu dijanjikan lebih cepat sembuhnya. Padahal, entah cairan apa yang dia injeksikan ke tubuh pasien.
Mahal dan sulitnya akses ke pelayanan kesehatan bermutu membuat penduduk desa saya lebih memilih cara preventif untuk menghalau penyakit. Sebagian di antara cara tersebut adalah mitos, sebagiannya lagi mungkin logis secara ilmiah.
Misalnya, larangan mandi selepas langit gelap adalah aturan jamak yang berlaku hampir di semua rumah. Malam adalah waktu nyamuk anopheles beraksi sehingga bila kita mandi berarti sama saja menghidangkan diri untuk digigit. Ada juga kebiasaan tidur berkelambu sehingga nyamuk tak bisa mengincar kita di saat sedang terlelap. Sebagian lagi percaya, memakan pare akan memberikan rasa pahit yang tidak disukai nyamuk ke dalam darah kita.
Ibu angkat saya punya trik sendiri. Dia selalu berpesan agar saya tak lupa sarapan. Yang ibu maksud dengan sarapan tentulah makan pagi dengan nasi hangat yang baru turun dari periuk di pendiangan. Tidak boleh memakan nasi dingin bahkan nasi kemarin yang dihangatkan dengan digoreng. Ibu percaya cara inilah yang paling ampuh menangkal malaria, kearifan buah pengalamannya hidup di daerah pelosok selama belasan tahun. (Soal yang ini, sepertinya akan ada banyak pakar gizi yang sepakat dengan Ibu soal pentingnya sarapan, kecuali para penganut mahzab Obsessive Corbusier Diet. 😀)
Syukurlah selama 12 bulan tinggal di pelosok Tambora, tak pernah sekalipun saya tertular malaria atau penyakit lainnya. Saya berusaha taat mengamalkan petuah-petuah tadi terutama yang disarankan Ibu.
Kalau saya perhatikan, perubahan perilaku ini cukup drastis. Sebelumnya saya bukan orang yang terbiasa rutin sarapan sebelum beraktivitas seharian karena sering malah membuat mual. Namun selama setahun di pelosok itu, hal yang sebaliknya terjadi tak lain karena saya ingin selalu sehat—atau lebih tepatnya saya takut bila sampai jatuh sakit—di tengah keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Saat berperjalanan pulang melintasi Doroncanga untuk terakhir kalinya, ada sedikit perubahan. Ada pendatang yang mencoba peruntungan menanam tebu di bagian barat padang. Di ujung sisi yang lain pun mulai agak ramai, kini berdiri kios-kios temporer yang menjual aneka barang. Entah memanfaatkan momen apa, yang pasti ekonomi mulai menggeliat. Entah dalam berapa tahun dari sekarang, daerah ini tak akan lagi disebut pelosok.
Bis Dunia Mas beringsut pelan membelah sabana di atas jalanan berbatu. Para penumpang agak terguncang-guncang. Saya memperhatikan sekeliling. Ada kepala sekolah SD tetangga, pemilik toko di kecamatan, juga istri kepala desa. Tak ada wanita muda maupun bocah lelaki itu lagi.
Selalu suka membaca apapun yang diceritakan dengan cara naratif, apalagi oleh Shally. 🙂
hihi ada buicaaa. makasih chaa. sering2 mampir 😀
Sekarang kebiasaan sarapan itu masih dilakukan ga, Mba?
Gaya berceritanya saya suka. 😀
Sekarang mah udah jarang sempetin sarapan nasi anget lagi. Soalnya banyak pilihan: bubur, ketupat sayur, nasi uduk, oatmeal.. :9 #jadilaper