Pulang: Kisah Mama dan Para Kebetulan

Hidup adalah kumpulan kebetulan. Kadang terasa lucu, tak jarang rasanya getir.

Kebetulan berbeda dengan kebenaran. Kalau kebenaran biasanya dinanti pemirsa –misalnya saja pada idiom “pahlawan kebenaran”– sedangkan kebetulan justru terjadi tanpa disangka, tak sengaja. Misalnya tentang kebetulan lucu yang tertentu ini.

Sekira ketika saya tunai tugas menjadi Pengajar Muda, kebetulan film Lewat Djam Malam akhirnya tuntas direstorasi. Karya Usmar Ismail dari orde 1950-an ini pun kembali pentas di satu sinema Plasa Senayan XXI. Saya bersemangat. Sudah lama saya dengar projek bersejarah yang fenomenal ini.

Saya pun mengakhiri puasa nonton bioskop selama setahun, Lewat Djam Malam yang jadi hidangannya. Tak banyak penonton malam itu, barangkali karena film usang ini tak masuk daftar pilihan utama para khalayak. Namun di Senayan sana, saya merasa tertohok dengan jalan cerita sang lakon utama.

Adalah Iskandar, veteran perang yang canggung nian dengan kemerdekaan begitu dia kembali pulang. Kala itu, kondisi Bandung dan Indonesia memang tengah genting. Gerakan separatis tengah mengancam stabilitas republik muda yang umurnya masih berbilang jari.

Pimpinan Militer Kota Bandung saat itu pun memaklumatkan korfe mulai pukul 10 malam. Iskandar yang pahlawan perang, justru dikejar-kejar patroli keamanan karena beredar di jalanan ketika sudah lewat jam malam. Untung, dia bisa selamat setelah mencapai rumah tunangannya.

Di sisi lain, gaya hidup kelas menengah yang diwakili karakter tunangan Iskandar, kontras dengan kegundahannya. Mereka saat itu digambarkan seperti tak hirau dengan kegentingan keamanan. Mereka larut dalam dansa-dansi pesta hedonis menyambut kepulangan Iskandar.

Keesokan hari, keadaan tak jadi lebih baik. Saat calon mertuanya mencarikan pekerjaan kantoran di kantor gubernur, ternyata Iskandar tak kalah asing dengan pekerjaan di balik meja. Dia tak cakap dengan mesin ketik, lebih lihai pegang popor senapan tampaknya.

Larilah dia ke kawannya di medan juang dahulu. Kecewa Iskandar berlipat-lipat ketika bertemu Gaffar yang seperti tak paham kegelisahannya. malah terlihat nyaman betul dengan pekerjaannya kini sebagai pemborong. Pudja, kawannya yang lain, kini menjadi centeng rumah bordil.

Bertambah kecewanya ketika bertemu Gunawan. Pertemuan Iskandar dengan mantan komandannya ini mengungkap kenyataan pahit. Gunawan yang kemudian beroleh kesuksesan sebagai pengusaha ternyata bermodalkan harta milik salah satu keluarga yang mereka habisi saat perang.

Kegelisahan dan kekecewaan Iskandar jelas punya alasan. Adakah kemerdekaan seperti ini yang dia perjuangkan? Yang jadi alasan dia berangkat ke garis depan? Yang ingin dia temui ketika pulang?

Alasan untuk pulang.

Hal ini pula yang membuat saya tercenung lama ketika menjawab celotehan dari salah satu anak tetangga di Semenanjung Tambora, Bima. Kira-kira setelah satu bulan kembali dari sana, saya mendapat telepon dari bocah tiga tahun itu. Sausan namanya.

“Bibi Jawa, kapan pulang ke sini? Ada apa di Jakarta?”

Dunia serasa jungkir balik setelah bocah 3 tahun itu melontarkan pertanyaan. Konsep ‘Jawa’, ‘pulang’, dan ‘Jakarta’ dari Sausan sungguh beda dari ujaran orang kebanyakan. Ada sedetik jeda yang terasa lambat saat saya menyusun kata untuk menyahut suara di ujung sana.

Seperti Iskandar yang pulang karena kemerdekaan sudah tunai, masa kerja yang usai membuat saya harus pamit dari sana. Ada Pengajar Muda penerus yang sudah siap menyambut hamparan sabana dengan rumput meranggas dan sejumput kecil dusun beserta sebangun sekolah di tepiannya.

Saya pun merunut balik alasan berdiam selama setahun di kabupaten di timur pulau Sumbawa itu. Pada cetak biru imajiner tentang hidup saya, semua pasal tentang Bima memang berbuah kesementaraan. Betapapun Bima punya ruang istimewa, keberangkatan ke sana adalah untuk kembali lagi ke sini.

Suatu ketika murid saya Haryati pernah bertanya, “Apa cita-cita Ibu Guru?” Dia merasa tak habis pikir dengan saya yang kuliah arsitektur lalu kerja jadi wartawan dan sekarang jadi gurunya. Sementara, dia sendiri kepayahan mengejar cita-cita semata wayangnya sebagai guru matematika SMP.

Dalam cetak biru itu, titik ‘cita-cita’ tergambar jelas beserta jalan menuju ke sana. Lantaran ingin menjemput cita-cita saya yang belum tercapai, saya kembali ke Jawa; ke Jakarta. Jika menengok ke belakang, sebab itu pula yang membuat saya meninggalkan Bandung, tempat saya lahir dan tumbuh.

Namun sesungguhnya, saya baru menyadari alasan untuk pulang pada beberapa pekan belakangan. Setelah bisa beradaptasi dengan suasana kerja baru di Jakarta dan segala hiruk-pikuknya, saya baru menemukan ritme tepat untuk rehat dan menepi ke Bandung. Dua kali per bulan.

Dalam kepulangan saban dua pekan itu banyak kejadian yang mengingatkan tentang lamanya saya tinggal terpisah dari keluarga. Ternyata si adik bungsu yang lebih muda 12 tahun kini tingginya sudah sepantaran saya. Kemarin hari dia cerita temukan artikel tulisan saya di koran perpus sekolah dan dipamerkan ke gurunya.

Ada pula adik yang nomor dua tiba-tiba ajak bicara soal passion waktu saya minta dijemput di restoran padang di Simpang Dago. Padahal baru tempo hari rasanya dia mulai masuk SD. Di hari pertama sekolah, gurunya melapor ke Mama kalau si adik sibuk cerita Godzilla di jam pelajaran sehingga kelas jadi rusuh. Kini dia mahasiswa tingkat 2.

Pagi harinya, Mama tanpa berkata apa-apa ternyata sibuk menyiapkan makanan kesukaan saya. Sambil menggerutu kecil bahwa wajan Happy Call-nya ternyata tak membuat dia happy karena tak seperti di teve, nyatanya ayam panggang Mama tetap selezat biasanya.

Di ujung hari itu, saya baru memperhatikan helai-helai rambut keputihan yang terlihat nyata di rambut Mama. Dulu, dia akan senang sekali jika ada yang mau mencabutkan uban yang –menurut versi Mama– terlalu cepat muncul. Kini dia nyaman saja membiarkan mereka ada di sana, tak terbujuk iklan semir rambut Top Lady.

Mama yang kelelahan tertidur di depan teve. Saya pun ramai berceloteh, menganjurkan agar Mama pindah ke kamar, sambil memijat kakinya perlahan. Tak sengaja saat itu tangan saya menyapu kulit betis Mama. Saya agak tercekat, terdiam sesaat. Ada getir di ujung tenggorokan.

Untuk pertama kalinya saya menyadari tekstur kulit Mama yang hanya terasa sama dengan ingatan saya tentang kulit almarhumah Nenek. Agak kendur dan terasa tipis, khas orang tua. Saya raba kaki satunya lagi, terasa tekstur yang sama. Pergelangan dan telapak tangan juga menyiratkan tanda keuzuran itu.

Saya menerawang. Menghitung waktu yang kami lewatkan. Delapan tahun lalu saya berangkat meninggalkan mereka. Memang sudah saatnya pulang.

***

Ditulis untuk merespon tulisan Swoff, Handschuh dan Meja Makan tentang alasan ‘pulang’.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s