Langkah Pertama ke Negeri Jauh

Pagi masih muda. Semburat silau baskara fajar yang keluar dari ufuk seperti berebut menyerbu membangunkanku. Badan bus agak terguncang-guncang dihela supir yang tak tidur semalaman. Selimut kusingkap, sandaran kursi kutegakkan, kemudian aku melempar pandangan ke luar jendela. Di kejauhan terlihat perairan Selat Malaka bertemu dengan langit pada cakrawala yang berawan.

Kulirik jam, sudah hampir pukul 7. Ini pagi pertamaku di negeri orang.

***

Sejak kecil aku punya impian bisa berkelana ke negeri-negeri jauh. Ini semua bermula dari kecintaanku membaca buku dan melahap habis semua bacaan di rumah. Dari ensiklopedia-ensiklopedia tebal berwangi khas percetakan, aku tahu soal Masjid Ali Kapu di Iran, Istana Alhambra di Spanyol, sampai arsitektur khas Maroko.

Bahkan aku akan menjawab lantang ingin berkuliah di Al Azhar, Mesir sejak masih duduk di bangku SD. Orang-orang dewasa terkekeh mendengar jawabanku, tapi aku merasa tak ada yang salah dengan itu.

Ketika remaja, aku ingin sekali ikut pertukaran pelajar untuk menggenapi impian kecilku. Namun akung tawaran itu baru datang ketika aku harus masuk persiapan ujian kelulusan SMA. Begitu masuk kuliah—akhirnya aku memang tak jadi kuliah ke Mesir tetapi di Bandung—aku sering menyengaja lewat di depan International Office untuk memantau informasi pertukaran pelajar.

Hingga tahun ketiga kuliah, tak ada satupun tawaran pertukaran pelajar untuk mahasiswa dari jurusanku, Arsitektur. Lamaran kerja praktik ke biro arsitektur di negara tetangga pun tak kunjung beroleh jawaban. Aku pun sudah merelakan keinginanku untuk bisa punya paspor dan membubuhkan cap di atasnya dengan maskot selain burung Garuda.

Siapa sangka peluang itu terbuka pada awal tahun 2007.

Ada undangan dari Persatuan Pelajar Indonesia di Penang, Malaysia untuk unit kesenian angklung yang aku ikuti dan juga untuk unit kesenian Bali dan Sunda. Mereka ingin kami tampil berkolaborasi pada perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-62 dan Hari Kemerdekaan Malaysia ke-50 di kampus Universiti Sains Malaysia. Pihak pengundang menanggung akomodasi dan transportasi selama di Malaysia. Kami tinggal mengusahakan keberangkatan via udara ke sana.

Perjalanan ini panjang dan repot. Rute yang akan kami lakoni adalah Bandung-Jakarta-Kuala Lumpur-Penang dalam lima hari. Dari rangkaian itu, perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur kami tempuh dengan pesawat sedangkan sisanya jalan darat.

Karena rombongan budaya kami akan membawa banyak barang seperti kostum dan terutama alat musik, maka kami harus mencari maskapai penerbangan yang terpercaya dalam penanganan bagasi. Bayangkan saja, ada belasan kacapi, puluhan angklung, dan satu kontrabas—setinggi 1,8 meter—yang harus dibawa dengan berhati-hati. Karena itu pilihan kami jatuh ke Malaysia Airlines yang kredibilitasnya sudah dikenal luas, konsekuensinya kami jadi membayar harga yang pantas.

Walau demikian, aku dan 30 teman lainnya sangat bersemangat mempersiapkan keberangkatan ini. Sebagian besar teman lain pun senasib dengan aku, ini adalah perjalanan keluar negeri perdana kami. Maka rangkaian panjang mengurus paspor, mencari sponsor ke sana kemari, dan keriuhan menyiapkan segala urusan jadi tak terasa.

Melancong ke luar negeri untuk pesiar rasanya berbeda bila punya urusan serius macam rombongan budaya ini. Begitu mendarat di bandara KLIA, kami dijemput dengan bis malam hari itu pula dan langsung menuju ke Penang.

Setiba di Penang, kami berfokus untuk latihan dan latihan. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan: tata lampu, tata suara, tata rias, sampai tata pentas. Beberapa koreografi harus berganti karena bentuk panggung tak seperti perkiraan semula.

Di sela-sela latihan itu, aku menyadari bahwa ada hal-hal tak biasa yang membuatku tak nyaman. Rasa makanannya, orang-orangnya, perbedaan waktu, dan sebagainya. Pendek kata, walau masih serumpun, tetap saja suasana di Penang berbeda dari Indonesia.:D

Terlebih, waktu itu bertepatan dengan hari ulang tahun adikku. Begitu menutup telepon setelah menelepon adik dan mama, terbit rasa kangen sejadi-jadinya. Aku pun mengirim pesan singkat kepada sahabat karibku di Bandung sana. Aku berkeluh, aku tak betah di sini.

Balasan pesan singkat darinya menyadarkanku. Isinya sederhana saja. Dia bilang, “Katamu nanti mau S2 ke luar negeri. Kalau baru beberapa hari sudah homesick, bagaimana bisa lulus sampai jadi master?

Sejak saat itu kuenyahkan semua ketidaknyamanan dan kucoba menikmati seluruh perjalanan di tanah jiran ini. Toh, bukankah kita melancong untuk mencari hal yang berbeda dari yang ada di kampung halaman? Maka setiap perbedaan adalah keunikan dan beruntunglah orang yang banyak bepergian karena dia bisa melihat hal-hal berbeda lantas belajar darinya.

Kunikmati pedasnya bumbu roti canai yang asli dibuat orang India.

Kunikmati bingungnya berbelanja karena butuh tahap mengonversi ringgit ke rupiah di luar kepala.

Kunikmati teguran di masjid yang membuatku harus mengenakan jubah tambahan penutup aurat padahal aku sudah memakai berjilbab.

Kunikmati trip ke Bukit Bintang dan rasa keheranan menemukan kemasan air mineral berbentuk balok—bukan silinder seperti biasa.

Kunikmati mengobrol dengan pemilik losmen yang ternyata keturunan Medan.

Kunikmati perjalanan ke Putrajaya dan melihat betapa jauhnya negara tetangga ini telah berbenah dibanding negaraku.

Di atas itu semua, aku menikmati pengalaman pertamaku ke luar negeri atas usahaku sendiri.

Perjalananku ke Malaysia mungkin dipandang cetek oleh sebagian orang. Namun bagiku itu adalah langkah pertama menuju petualangan menakjubkan yang menungguku setelahnya.

Journeys of a thousand miles begins with a single step. ~ Lao Tze.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s