Kakak Agu dan “Cinta dari Wamena”

Wajahnya gusar.

Ada rasa tak nyaman yang kentara di raut muka Kakak Agu setelah mendengar pertanyaan dari Mas Andreas Harsono. Bapaknya Norman dan Diana ini punya kebiasaan bertanya yang khas begitu sebuah tulisan kelar dibaca, “Ada komentar?” Selalu kalimat itu. Nadanya agak datar dan tertebak.

Kakak Agu seolah gatal ingin berkomentar namun ragu. Mimik ini tidak biasa, kontras dengan wajahnya biasa selalu berseri manis selama dua pekan interaksi kami di kelas pelatihan.

“Kenapa Agusta? Apa tanggapan kamu untuk Cinta dari Wamena? Apa itu film yang bagus tentang Papua?”

Kakak Agu adalah sapaan kami untuk Agusta Bunai, jurnalis televisi yang bermarkas di Manokwari, Papua Barat. Berjumpa dengan Kakak Agu berarti perjumpaan pertama saya dengan orang dari suku Mee. Baru di sini saya tahu ternyata suku Mee adalah suku dengan populasi terbesar kedua di Papua, kalau kata Mas Andreas semacam Sundanya Pulau Jawa.

Saya tak sempat tanya berapa umurnya, dia hanya pernah bilang bahwa saya lebih muda begitu tahu umur saya sebentar lagi genap 27 tahun. Geliginya putih berderet dengan tingkat kerapian yang akan membuat iri siapapun yang kadung membayar jutaan rupiah untuk kawat gigi. Susunan gigi ini pula yang menambah manis senyum malu-malunya bila tiba-tiba perhatian kelas tertuju kepadanya.

Saya hampir setiap hari duduk bersebelahan dengan Kakak Agu di pelatihan. Di kelas ini, kursinya sengaja diatur berkonfigurasi U dengan pembicara sebagai fokusnya. Hanya ada 10 peserta pelatihan selain saya, interaksi kami cukup intens selama dua pekan pelatihan. Namun di hari itu, hari terakhir pelatihan, saya duduk di sisi yang berbeda sehingga bisa melihat kegusarannya saat itu.

Untuk tugas menulis hari itu, Kakak Agu mengangkat pengalamannya menonton film Cinta dari Wamena yang baru premiere sehari sebelumnya. Dia menonton bersama tunangan dan dua temannya.

Tulisan tentang empat orang Papua yang menonton film bertema Papua. Menarik, to?

Kakak Agu membuka tulisannya dengan dialog film yang sambung-bersambung cepat antara guru dan siswa-siswinya di sebuah SMA. Saya kutipkan seperti di bawah ini.

Guru, “Sambil menyelam, … ?”
Serentak siswa menjawab, “Tangkap ikan!”
Guru, “Bukan. Sambil menyelam minum air.”
Salah satu siswa bersuara, “Kalo minum air nanti tenggelam, Pa Guru.”
“Ada gula, …?”
“Ada kopi, Pa Guru.”
“Bukan. Ada gula, ada semut.”
“Tapi Pa Guru. Kalo ada semut, nanti de makan gula kasi habis.”
“HAHAHAHAHAHAHA”
“Tidak ada rotan, …?”
“Ambil di hutan to.”
“Bukan. Tidak ada rotan, akar pun jadi.”
“Salah Pa Guru. Biasa kita ke hutan ambil rotan saja. De pu akar tidak.”

Dialog tak jamak itu kontan memancing tawa di ruangan bioskop. Hal yang sama pun terjadi di ruang pelatihan kami. Tetapi ternyata justru itu pangkal kegusaran Kakak Agu.

Menurutnya, bagian tersebut sangat keterlaluan karena tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Wamena, kata Kakak Agu, adalah kota yang cukup besar dan maju. Terlalu mengada-ada jika seisi kelas tak ada satu pun yang paham peribahasa umum seperti di dialog itu.

“Sa tra sepakat sekali. Kesannya negatif sekali,” kata Kakak Agu yang punya latar belakang pendidikan tinggi di bidang fisika.

Selain kesan ketertinggalan pendidikan di Wamena dan Papua yang kelewat hiperbolis, dia juga tidak sepakat dengan ilustrasi nihilnya peran orang tua dan gereja dalam mencegah anak-anak muda di sana terjerumus ke minuman keras, perilaku seks bebas, dan HIV/AIDS. Menurut Kakak Agu, peran orang tua dan gereja sangatlah besar di dalam keluarga dan masyarakat, terutama untuk meredam pengaruh seperti itu.

Walau demikian, dia tetap menyampaikan pendapat berbeda dari salah satu temannya bahwa memang saat ini sebagian anak-anak muda di Wamena sudah terkontaminasi hal-hal negatif.

Mendengar kritik Kakak Agu, saya jadi teringat komedian di Stand Up Comedy Indonesia season III yang berasal dari Indonesia timur, Arie Kriting namanya.

Dalam berbagai sesi giliran melucunya, Arie selalu mengangkat lelucon-lelucon tentang serbaneka hidup di timur sana. Tak jarang malah dia membuat penonton tertawa karena menyadari perbedaan cara pandang kita ‘di sini’ versus saudara-saudara kita ‘di sana’.

Misalnya soal pelajaran seni dan konsep keindahan. Hampir selalu seorang murid akan menggambar pemandangan gunung dengan sawah bila diberi kertas dan diminta menggambar pemandangan. Hal ini memperlihatkan orang Indonesia punya persepsi seragam soal ‘pemandangan indah’.

Arie bertutur, konon ada seorang mahasiswa dari pesisir timur baru tiba di Malang. Dia terkagum-kagum dengan panorama pegunungan di Jawa Timur, lengkap dengan persawahannya. Persis seperti yang selama ini dia gambar saat pelajaran seni.

“Indah sekali pemandangannya ini. Ada gunung, ada sawah. Indah sekali.”
“Memangnya kampungmu di sana seperti apa?”
“Di Raja Ampat itu, biasa-biasa saja. Hanya pantai-pantai,” kata si mahasiswa dengan ekspresi kurang minat.

Penonton pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Di kesempatan yang lain, Arie mengeluh bahwa dongeng di Indonesia kerap kali diskriminatif karena deskripsi orang jahat atau raksasa kerap kali serupa dengan orang timur yang berkulit hitam, bermata melotot, dan berambut keriting. Ketika membawakan bagian itu, Arie menirukan ekspresi raksasa yang jahat sehingga terlihat bahwa dia sebagai orang timur, memang mirip dengan tokoh antagonis di dongeng-dongeng.

Lelucon Arie selalu lugas mengangkat tema orang timur, namun setahu saya dia belum pernah dapat teguran atau keluhan soal konten yang bisa dianggap mendiskriminasi. Selain karena cara membawakan yang cerdas, saya menduga hal itu juga karena terasa sah saja menertawakan Arie. Dia, menurut saya, sebenarnya sedang menertawakan dirinya sendiri.

Kembali ke Cinta dari Wamena.

Kegusaran Kakak Agu bisa jadi bukan kegusarannya saja. Saat Mas Andreas bertanya, “Apakah orang-orang di Papua akan senang menonton film ini?” Dia jawab, “Mungkin tidak semua senang.”

Sejatinya, film besutan Lasja Susatyo ini berangkat dari motivasi altruistik, kalau kita tak mau menyebutnya berniat mulia.

Di situs resminya, para pembuat film ini menyebut, “…Cinta dari Wamena adalah sebuah gerakan untuk membantu saudara-saudara kita di Kabupaten Jayawijaya dan Papua pada umumnya dalam menghadapi epidemi HIV di sana. Film bioskop dengan judul yang sama dengan gerakan ini, yang rencananya akan tayang pada tahun 2013, akan menjadi pendorong utama gerakan ini. Tetapi film bukanlah satu-satunya, ada banyak kegiatan lain…”

Saya rasa semua akan sepakat soal itu, bahwa HIV adalah urusan genting yang perlu disikapi bersama. Tak sekadar tunjuk hidung pemerintah untuk berbuat lalu tunggu masalah selesai sambil pantau perkembangannya di berita. Siapapun dapat ambil bagian. Rasa penasaran yang makin bertumpuk membuat saya ingin menyaksikan langsung film ini.

Sayang, saat saya ingin memburu Cinta dari Wamena ke bioskop tanggal 20 Juni kemarin, film ini sudah surut dari semua layar di Jakarta dan Bodetabek. Padahal terhitung baru satu pekan sejak naik tayang di bioskop. Untuk ukuran menggalang orang ke dalam gerakan, ini jadi lampu kuning.

Ada banyak yang tidak saya tahu soal Cinta dari Wamena, termasuk soal kematangan penyusunan konten film dan porsi keterlibatan orang yang sungguh paham masalah dalam fase perencanaan. Simpulan macam apa yang layak saya berikan untuk menutup tulisan tentang film yang belum pernah saya tonton?

Namun dari kritik Kakak Agu dan minimnya atensi publik ibukota terhadap film ini, saya belajar bahwa ide brilian dan tulus harus disampaikan dengan cara yang tepat pula.

Sekadar niat baik tidaklah cukup.

Catatan akhir:
1. Situs resmi Cinta dari Wamena http://www.cintadariwamena.com/
2. Link video Arie Kriting http://www.youtube.com/watch?v=aYAy5JFu450

***

Terima kasih untuk Janet, Mas Andreas, Mas Imam, dan teman-teman Kursus Jurnalisme Sastrawi XXI: Kak Agu, Mas Adi, Ones, Mimi, Ratu, Fenta, Bang Andreo, Norman, dan Hafidz. Senang main-main sama kalian 😀

Iklan

4 pemikiran pada “Kakak Agu dan “Cinta dari Wamena”

  1. Tentu saja saya tidak menertawakan orang-orang saya, juga tidak menertawakan diri saya sendiri. Yang saya tertawakan adalah Stereotype orang-orang terhadap kami. Saya berbicara dalam ironi, sarkas, dan hiperbola. Saya mewakili masyarakat saya di Timur menertawakan kalian,.. Salam Kenal,… 🙂

    • wow, replied by the very Arie Kriting!

      haha. gitu ya? tapi coba deh kalo yang menertawakan stereotype itu bukan orang timur sendiri, rasanya bakal jadi bunuh diri. salam kenal juga, kak 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s