Pedagang mi ayam itu menyorongkan segelas teh manis hangat ke hadapan saya. Legitnya gula sudah terasa sejak saya menangkupkan tepian gelas ke arah muka, sekadar untuk menghirup aroma manisnya. Dalam seruput pertama, rasa gula terasa kental menyergap segenap indera pengecap. Spontan saya berkelakar, “Harga gula lagi murah, nih. Manis betul.”
Gula, pada masa kejayaannya, turut mendudukkan negeri ini di puncak-puncak kuasa atas komoditas pangan vital di dunia. Tanam Paksa yang digagas Gubernur Jenderal Van der Bosch menjadikan Indonesia sebagai produsen sekaligus eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba di era 1920-an.
Pada masa keemasan itu pula, bekerja di pabrik gula (PG) bagai tiket menuju hidup yang sejahtera. Malam-malam musim giling tebu menjadi pekan raya khas lingkungan PG. Panggung-panggung hiburan ditegakkan, tempat para buruh memfoyakan uang sebagai tanda perayaan (Nyi Vinon, 2009).
Menjadi buruh PG saja sudah sejahtera, apalagi bila menjadi amtenaar. Pramoedya Ananta Toer menggambarkan dalam Roman Tetralogi Pulau Buru, seorang jelata macam Sastrokassier rela menjual anaknya Sanikem, kepada Herman Mellema Sang Administratuur, demi jabatan juru bayar PG.
Namun, sekarang masa jaya itu sudah berlalu.
Ladang-ladang tebu sudah terlampau jenuh dijejali urea saban musim tanam. Produksinya stagnan, tingkat rendemen pun di bawah rata-rata tebu Brazil yang kini merebut posisi Indonesia. Sementara, mesin-mesin pemeras tebu di pabrik menua, efisiensinya keropos dimakan usia.
Padahal, kebutuhan masyarakat terus meningkat. Alhasil, neraca gula Indonesia defisit, baik gula rafinasi yang diperlukan industri, maupun gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung masyarakat. Pemerintah lantas meluncurkan program revitalisasi industri gula demi berswasembada di 2014.
Pembenahan di sisi perkebunan atau on farm mencakup penataan varietas, mekanisasi dalam pengolahan, perbaikan gizi tanah dan perbaikan masa tanam. Sementara, pemerintah menitik beratkan perbaikan off farm di peningkatan efisiensi dan penambahan kapasitas produksi.
Memang, ada hambatan infrastruktur energi dan transportasi dalam pembukaan lahan dan PG baru di Merauke Integrated Food Estate and Energy (MIFEE). Namun, pemerintah siap dengan sejumlah insentif untuk memicu gairah investor. Di atas kertas, cetak biru Revitalisasi Industri Gula seolah tak bercela.
Kecuali satu faktor: cuaca.
Tak ada yang menyangka, bahkan sekelas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sekalipun, jika tahun ini La Nina mengantarkan hujan mengguyur Indonesia sedemikian murahnya. Terakhir, mereka memprediksi cuaca ekstrim ini akan berlangsung hingga Maret 2011.
Anomali cuaca ini pula yang menyebabkan tak ada keriangan yang biasa saat Republika menyambangi PG Gempolkrep, Mojokerto, pekan lalu. Buruh-buruh legam bertelanjang dada beringsut lesu saat keluar dari bangunan tempat tebu digiling. Lantaran produksi anjlok, tak ada alasan bergembira.
Di sisi lain, petani tebu ikut tertimpa tangga dengan musim hujan yang berkepanjangan ini. Tebu sudah sampai ranumnya, namun perlu kemarau agar sakarida di serat tebu mengkristal jadi gula. Tidak ada pilihan lain, terpaksa tebu-tebu basah itu digiring ke PG.
Administrator Gempolkrep, Syawaluddin, mengatakan, di PG yang menjadi pilot project Revitalisasi Industri Gula di lingkungan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X ini, produksi turun sekitar 25 persen dari target semula, menjadi 60 ribu ton saja.
Sedangkan tingginya curah hujan, kata dia, tak hanya menurunkan kadar rendemen ke bilangan 6,3 persen dari target 8,0 persen. Lahan yang becek membuat truk tebu tak mampu masuk mengangkut panen. “Sekarang dua hari giling, sehari berhenti karena tak ada pasokan,” ucapnya.
Soal minimnya pasokan ini, dibenarkan Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan PTPN X, Daljadi W Soekarto. Peningkatan kapasitas dan efisiensi mesin di pabrik menjadi tak terpakai karena tak ada tebu yang digiling.
Para pemangku kepentingan di urusan Si Manis ini mulai ketar-ketir menunggu musim giling kelar. Dewan Gula Indonesia (DGI) merevisi target produksi semula yaitu 2,9 juta ton GKP menjadi 2,36 juta ton saja. Kementerian Perdagangan lebih pesimis, mereka perkirakan realisasi giling hanya 1,8 juta ton.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil, memprediksi realisasi produksi akan turun 20-30 persen. Besarannya berkisar 2,1 juta ton, di bawah hitungan DGI. “Saya optimis tetap akan sampai dua juta ton walau cuaca seperti ini,” katanya.
Sembari harap-harap cemas menunggu angka riil realisasi giling, harga gula terus menanjak.
Dua pekan lalu, harga rata-rata nasional gula pasir menyentuh level tertinggi sejak April yaitu Rp 10.982 per kilogram. Padahal, harga rata-rata di Juni tercatat Rp 9.958 per kg, Juli Rp 10.390 per kg, Agustus Rp 10.692 dan September Rp 10.571 per kg.
Menguatnya harga gula juga ditingkahi tingginya harga lelang di tingkat petani. “Harga lelangnya berkisar Rp 9.100-9.200 per kilogram, ini lebih tinggi dari acuan pemerintah karena pasokannya juga sedikit,” kata Kepala Bagian Penanaman Gempolkrep, Abdul Hamid.
Lesunya musim giling kali ini, seingat Abdul, serupa dengan yang terjadi di 1997. Saat itu pun hujan turun berkepanjangan tanpa bisa ditahan. Seperti mengulang rekaman kelam, dia bercerita sambil menerawang, kala itu pun rendemen merosot, produksi juga anjlok.
Baginya, lebih baik menghadapi kemarau ketimbang penghujan berkepanjangan. Kekeringan, kata dia, bisa dilawan dengan pompa air, sementara hujan tak bisa dihalau begitu saja. Karena itu, dia pun mengatakan, pihaknya sudah bersiap menyongsong El Nino yang biasanya menyusul La Nina.
“Kami sudah beli 20 pompa air, untuk airnya dari sungai dan mata air. Kalau soal air, di sini tidak pernah bermasalah. Waktu El Nino 1998 dulu juga begitu. Mudah-mudahan saja bisa,” kata dia dalam nada penuh doa. Dia berharap, manisnya masa keemasan gula dapat kembali terulang. Semoga.
***
daripada gak kepake cetak n cuma jadi sampah di nyusrum, diposting di sini sajalah XP
oia, nulisnya ini sambil dengerin Sugar Town-nya Zooey Deschanel. mantaps, heheu.
Salam hangat dari tambora