===repost dari catatan FB saya, dipublish 8 April 2010===
Hari itu saya berpapasan dengan sepotong trotoar. Dia biasa saja, saya bisa temukan yang semacamnya di banyak sudut kota lain. Perkerasannya dari paving block, rapat dan tak memberi ruang bagi air menelusup di jeda antar sesamanya. Kansteinnya codet sana sini tanda keusangan, warnanya pun tak jelas apa.
Di trotoar selebar 1,5 meter itu, tergelar sebuah kehidupan: gerobak plus tenda kaki lima. Tulisannya, Sop Kaki Kambing Bang Kumis Tanah Abang 999. Di kanan kirinya, berderet pula semacam Pecel Lele Soto Lamongan, Ayam Goreng Kabita Asgar atau Sate Kambing Asli Madura. Seolah semua harus beri tunjuk asal muasal baru boleh berjualan.
Tak seberapa jauh dari sana, sebuah perempatan jadi tempat jalanan bersaling silang. Perempatan ini selalu ramai oleh mobil bagus, mobil biasa, angkot butut, bis busuk, bis bagus, sepeda, dan sepeda motor. Lampu lalu lintasnya sibuk berkedip mengatur ribuan kendaraan serba acak yang kebetulan bertumbuk di satu kesempatan.
Di perempatan itu, pada sepotong trotoar pula, ada kekuatan bagai magnet. Menyedot sembarang orang dari berbagai latar belakang namun memiliki tujuan yang satu. Seorang calo jadi comblangnya, membuai calon penumpang dengan mengumbar janji muluk. Angkot akan segera berangkat dan cuma butuh satu orang lagi agar bisa laju.
Sekitar pukul setengah lima sore, upacara di trotoar itu dimulai. Awalnya, segerobak perkakas dan perlengkapan diantar ke sana. Gulungan tenda dibaringkan di perkerasan, lantas dibuka dan ditudungkan. Tiang-tiang dipancang, kain pembatas dibentangkan. Makanan dideretkan di rak etalase. Selesai.
Sejak upacara dimulai, pedestrian jadi tak bisa lalu di trotoarnya. Mereka pun tumpah ke bahu jalan. Beberapa sambil haha hihi berjalan sampai ke tepian jalur kendaraan. Pengemudi kendaraan jadi mengklakson mereka kuat-kuat. Si pedestrian terbirit gusar lalu menggesa langkahnya, mengejar badan trotoar yang belum terjajah.
Sayangnya tak bisa. Ada deretan angkot yang sedang ngetem tadi. Angkot, yang jelas lebih kuasa dari tubuh-tubuh manusia, telah merebut badan trotoar lainnya. Lantas para pedestrian itu berpencar lagi ke jalanan. Meramaikan lalu lintas lantas menambah semrawut kemacetan dan hiruk pikuk di perempatan.
Gerombolan sepeda motor tak mau ketinggalan. Mereka gemar berebut posisi paling depan, kabur dari kemacetan. Tak peduli caranya, pokoknya sedepan mungkin. Walau dalam pengejaran posisi terdepan ini, mereka terkadang harus menjajah zebra cross atau malah menghajar potongan trotoar yang masih tersisa.
Sebuah paving block di potongan terakhir trotoar itu remuk, meremah terhajar roda nan perkasa. Campuran semen dan pasir itu kini serupa bubuk, berwarna abu dan sendu. Kanstein, tanah, rumput kecil, dan paving block lainnya tak sempat meratapi kedukaan itu. Roda yang lain telah memupus sang remahan dan membaurkannya ke udara.
Inilah saya di negara yang orang-orangnya saling tega. Tega berjualan trotoar lantaran tak sanggup sewa kios di pertokoan. Tega berjalan di tepian jalanan lantaran tak bisa menggunakan trotoar. Tega mengagetkan pejalan kaki lantaran mereka mengganggu jalanan. Tega mengetemkan angkot di perempatan karena kosong muatan.
Tega bermotor di trotoar lantaran tak mau mengantri dalam kemacetan. Tega mengutip retribusi ke pedagang kaki lima dan mengangkanginya untuk diri sendiri. Tega mengamen dengan mengancam karena ingin punya uang. Tega tak mau bayar pajak karena enggan masuk ke kantong oknum semacam Gayus.
Hanya orang kerdil yang menggunakan kemalangannya untuk membenarkan ketegaan yang dia lakukan. Sungguh teganya dirimu, teganya… teganya… teganya…
hey shally kamu ngeblog lagi.. layoutnya agak susah ah shal..
sal, nulis dong.. bikin novel.. ga usah nunggu kapan-kapan mah kalo mau nulis. Asik nih.. kamu kan kental bahasa khas jurnalis.. agak unik rasanya. punya rasa-lah.. Kayaknya mirip genre supernova atau perahu kertas gaya bahasamu..
ditunggu..!!
bagus-bagus, hebat
bagus……tp yang aku bingung sekarang ini siapa yg mjd korban??/
Ketegaan itu juga butuh proses. Dua tahun pertama di Jakarta, aku antimerampas trotoar ketika memacu motor. Kini, sesekali juga tega. Ketegaan yang muncul karena tak tega mendengar klakson ketidaksabaran dari sesama pengendara motor yang ada di belakangku.
sesuatu yang sekarang ini sudah menjadi kebiasaan yang biasa saja.. menjadi luar biasa dalam kemasan tulisan anda..
kerenkerenkeren deh pokoknyaa…