Saat Jakarta Mati Listrik

===repost dari catatan FB saya, dipublish 22 Oktober 2009===

Langkah Soma Setiawan menggontai lemah. Sekali lagi rencananya gagal, merampungkan pekerjaan pemasangan kanopi sebuah rumah gedong di bilangan Balai Pustaka. Ia tak tahu, hari itu PLN, sang juragan listrik negeri ini memutuskan tak mengaliri wilayah tersebut dengan listrik. Soma lantas memerintahkan karyawan-karyawannya mengemasi barang, mereka pulang. Kembalilah Soma ke bengkel lasnya yang sederhana, markas besar bagi ia dan ketujuh anak buahnya.

Soma, bapak paruh baya pemilik bengkel las di Pulogadung itu lalu berhitung rupiahnya yang hilang. Keningnya mengerut, jika perkiraannya tak meleset, hampir dua juta rupiah pendapatannya berkurang sejak pemadaman listrik bergilir. Sebuah generator diesel yang dimilikinya tak bisa membuat perangkat bengkelnya menyala semua, hanya alat las yang mampu dihidupkan mesin berkapasitas keluaran 1.500 watt itu. Alhasil, sebagian karyawan Soma lebih banyak menganggur jika pemadaman listrik datang.

Duka bagi Soma, berkah bagi Lily. Penjual genset di Pasar Kenari Baru, Jakarta Pusat ini menangguk untuk berlipat-lipat sejak Jakarta dirundung pemadaman bergilir. Jika sebelumnya Lily hanya bisa menjual dua genset perhari, kini tak kurang dari sepuluh transaksi penjualan yang mampu ia tangani. Kabar pemadaman yang masih akan terjadi hingga awal 2010 ditanggapinya cekatan. Ia sudah menghubungi gudang tokonya di kawasan Sunter agar menyiapkan stok genset untuk memenuhi permintaan.

Meledaknya gardu induk di Cawang awal Oktober jadi alasan PLN membuat Jakarta kembali seperti masa Orde Lama, mengakrabi ketiadaan listrik. Pasokan listrik terganggu, alhasil listrik yang ada harus dibagi-bagi oleh penduduk Jakarta yang jumlahnya belasan juta jiwa. Di hari insiden itu terjadi, gedung sepanjang Jalan Mampang Prapatan seperti dipeluk gelap. Tak terlihat cahaya dari deretan kantor, bank, toko, rumah, masjid, bahkan kantor PLN sendiri. Koridor jalan sedikit diterangi semburat cahaya dari satu dua neon box dan billboard yang entah dapat listrik dari mana.

Bagaimanapun, Jakarta adalah ibukota. Husna Zahir, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkata, Jakarta akan jadi cerminan Indonesia. Menurut Husna, jika PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik ibukota, kemampuannya untuk memenuhi listrik di daerah lain akan menjadi pertanyaan. Husna mengatakan, pihaknya tengah mengkalkulasi kerugian yang diderita masyarakat akibat pemadaman bergilir untuk selanjutnya menggugat PLN.

Padahal, bagi masyarakat di luar Jawa, pemadaman listrik bergilir telah menjadi kemafhuman saja. Beragam alasan PLN untuk pemadaman listrik menahun ini, mulai dari kapasitas produksi pembangkit listrik yang terbatas, minimnya stok bahan baku, belum cairnya dana pembangunan pembangkit baru, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan para ibu rumah tangga di kampung Kace, Bangka Belitung sana seolah diotomasi akan menyuruh bocah kanaknya bergerak pergi membeli lilin jika maghrib menjelang, berjaga-jaga siapa tahu pemadaman listrik datang.

Karenanya mereka heran ketika warga ibukota menjerit sana sini disebabkan pemadaman listrik. Manusia-manusia Jakarta ini rewel karena AC dan kipas anginnya enggan bekerja, coffee maker-nya tak bisa mengucurkan kopi hangat lagi, atau lantaran tak bisa terhubung ke internet. Protes pun dilayangkan kesana kemari. Dira, warga Lampung yang kini juga tinggal di Jakarta, misuh-misuh di status Facebooknya melihat kelakuan warga ibukota yang macam ini.

Seno Gumira Ajidarma dalam “Kentut Kosmopolitan” mengajak pembacanya berkhayal, jika listrik Jakarta mati selamanya, mampukah penduduknya bertahan hidup? Seno menulis, listrik mati bisa menyadarkan kita akan kebumian kita, ke-alam-an kita sebagai manusia. Bagi Seno, matinya listrik juga membuat rembulan kembali terpandang, tanpa gangguan cahaya dari lampu-lampu neon yang semarak di Jakarta. Imajinasi Seno lalu berkelindan liar: jika listrik mati selamanya, yang ada tinggal nyala lilin yang suram dan manusia harus kembali tinggal di pohon.

Namun kelihatannya penduduk ibukota tak perlu khawatir pemadaman listrik akan terjadi selamanya. General Manager PLN Distribusi Raya dan Tangerang Purnomo Willy BS, mengatakan, pascaterba­karnya trafo Gardu Induk di Cawang dan Kembangan, kondisi kelistrikan di wilayah distribusi Jakarta Raya dan Ta­ngerang diperkirakan akan sepenuhnya pulih pada Januari 2010. Willy menerangkan, saat ini proses perbaikan tengah dilaksanakan, per­gantian trafo akan selesai akhir Desember 2009, sehingga kondisi benar-benar normal pada awal 2010.

Akhirnya, yang tersisa pada Soma hanyalah kesabaran menanti pasokan listrik kembali normal. Laba usahanya yang telah jadi tipis tergerus kerugian akibat pemadaman tak cukup digunakan membeli generator tambahan. “Yang saya tidak mengerti mengapa saya harus tetap memenuhi kewajiban bayar listrik tepat waktu padahal hak saya mendapatkan listrik tidak terpenuhi?” tutur Soma polos, tak ada nada menuntut dalam intonasi suaranya. Murni sebuah pertanyaan dari pelanggan yang tak punya alternatif penyedia listrik selain PLN.

Iklan

Satu pemikiran pada “Saat Jakarta Mati Listrik

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s