===repost dari catatan FB saya, dipublish 29 Desember 2009===
Mendung sudah lama menggantung di langit ibukota, sejak tengah hari. Separuh jalan menuju sore, hujan deras mengguyur Jakarta Timur. Air boleh turun dengan lebatnya, namun aktivitas manusia-manusia di satu toko buku di bilangan Matraman itu seolah tak terhentikan hujan. Sosok demi sosok berlesatan keluar dari bangunan tiga lantai itu, menerobos hujan dengan penuh gusar menuju parkiran atau halte kendaraan umum.
Sejurus kemudian, datanglah belasan bocah lelaki pengojek payung yang berkerumun di pintu-pintu keluar toko buku itu. Mereka seperti kurcaci, berbadan tanggung semeter tak sampai dan tanpa alas kaki. Kesemuanya pandai berkelit lincah walau di tengah hujan, saling berebut calon konsumen. Pakaian mereka kuyup, namun terulas senyum gembira saat jasa mereka ditebus rupiah. Bagi mereka, musim hujan bagai panen, saatnya mengais rezeki atas air yang tercurah dari langit.
Dua jam kemudian hujan mereda dan tinggal gerimis saja. Beberapa dari bocah pengojek payung itu mengusaikan kerjanya lantas berkumpul di sudut pagar. Lembar-lembar rupiah lecek dan basah digelar di atas sila, ramai mereka menghitung pendapatan kali ini. Sebagian yang sudah puas kemudian menjajankan uang yang didapat ke gerobak-gerobak kaki lima yang marak di dekat sana, sembari berdiang menghangatkan jari-jari mereka yang mengkerut biru di tungku-tungku pemasak makanan pinggir jalan.
Arfan, salah satu bocah yang ikut mengais nafkah di toko buku itu, tak ikut bermajelis di sudut pagar. Dia terus beredar, menawarkan peneduhan dari rintik hujan di bawah payung pelanginya kepada satu dua pengunjung toko yang beranjak pulang. Giginya gemeletuk dan setiap sekian detik rahang bawahnya terkatup tiba-tiba, tanda ada yang tak beres pada mekanisme kerja otot rangka mulut. “Karena kedinginan kali, kak,” ucapnya menduga penyebab serangkaian gerak tak lazimnya itu.
Siswa kelas tiga Sekolah Dasar Negeri Tegalan 09 Pagi itu mengaku sudah yatim. Ibunya, Aisyah, menjadi pemenuh hajat utama di keluarga dengan berjualan gado-gado di rumah. Dituturkannya, Arif Rahman, kakak semata wayangnya kini telah turut bekerja menjadi pencuci piring di satu restoran cepat saji di kawasan Senen sejak setengah tahun terakhir. “Kadang, setelah pulang sekolah saya ikut bantu cuci piring di sana lho,” ujar bocah sembilan tahun itu penuh bangga, kepada Republika belum lama ini.
Arfan mengatakan, ide dirinya turut bekerja datang dari sang ibu. Dia mengaku, pendapatannya yang berkisar Rp 10 ribu perhari semua disetor pada ibunya. Lantaran prihatin bundanya yang kerap sakit-sakitan masih harus menjadi tulang punggung keluarga, ia berkata rela memenuhi suruhan sang ibu ikut bekerja. Entah itu bersama kakaknya atau berangkat mengojek payung saat hujan deras. “Walau, kadang akibat bekerja saya sering kecapaian dan sakit sampai tidak masuk sekolah,” papar bocah berumur sembilan tahun itu.
Temuan pekerja anak yang bekerja dalam kondisi buruk memang lazim ditemukan terutama di di kota besar macam Jakarta dan sekitarnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menjadi daerah penyumbang terbesar jumlah pekerja anak yang dipekerjakan dalam kondisi buruk. “Kalau di lingkungan Jabodetabek totalnya ada sekitar 80 ribu pekerja,” ungkap Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas PA, Arist Merdeka Sirait.
Padahal menurut Arist, anak hanya diperbolehkan bekerja di bawah sederetan prasyarat ketat. Selain berusia minimal 12 tahun, pekerja anak hanya boleh diberikan tugas ringan dan tak mengganggu sekolah maupun hak tumbuh kembangnya. Selain itu, durasi waktu bekerja maksimal tiga jam perhari dan tak boleh di waktu malam. “Yang terpenting, harus mendapat persetujuan dari orang tua,” paparnya.
Fenomena pekerja anak diakui Arist menjadi kondisi yang ambivalen. Di satu sisi, anak memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi agar dapat tumbuh kembang menjadi manusia dewasa. Namun di sisi lain, kondisi sosial ekonomi masyarakat kelas bawah mendorong keluarga-keluarga miskin mempekerjakan semua anggota keluarga agar tercukupkan kebutuhan sehari-hari. “Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk mengambil alih anak yang terlantar hak-haknya karena harus bekerja,” ujarnya.
Karenanya menurut Arist, penyelesaian masalah pekerja anak menuntut kerjasama lintas departemen maupun lembaga negara lain yang terkait agar bisa tuntas. Dia mengingatkan, pekerja anak adalah salah satu hasil sampingan sistem sosial ekonomi yang dianut negara ini. Penanganan taktis di lapangan oleh aparat terhadap pekerja anak di sektor informal semacam pengamen atau pengojek payung pun harus menempatkan anak dalam perspektif yang semestinya. “Perlakukan mereka sebagai korban, bukan pelaku,” tegasnya. n shally pristine