c15

===repost dari catatan FB saya, dipublish 10 Desember 2009===

sejak Juli lalu sampai Juni tahun depan, judul di atas menjadi identitas saya yang lain. shally adalah c15, c15 adalah shally. selama lima bulan terakhir saya bergelut dengan dunia baru, jurnalistik dan seluk-beluknya, belajar menjadi pilar keempat dari sebuah negara.

di tempat saya bekerja sekarang, calon reporter ditempatkan di rubrik atau desk kabar kota. pendek kata, liputan berita metropolitan. menjadi jurnalis kabar kota, tak sementereng anak desk ekonomi yang dalam liputannya keluar masuk gedung berpendingin ruangan. tak pula seeksis anak desk politik atau hukum yang kerap meliput kasus berskala nasional.

rentang liputan berita kabar kota lumayan luas. dari mulai kebakaran hingga pencurian, penggusuran sampai kebijakan pemerintah kota setempat. karenanya, bila di desk lain reporter meliput di pos tertentu, di kabar kota logikanya dibalik. seluruh daerah liputan adalah pos.

maka ketika saya mendapat wilayah liputan di jakarta timur nan luas, di sanalah deritanya. mulai dari pondokkopi di batas timur, cakung di utara, matraman di barat, hingga cibubur di selatan harus saya kuasai berita dan isunya. tak heran jika saya kerap kebobolan berita.

walau berangkat dari kosan dalam kondisi cerah ceria, luasnya daerah yang harus dicover membuat saya harus geser sana sini sepanjang hari. tak jarang saya pulang dalam kondisi lecek dan kotor. kerap juga sampai di kosan berbasah kuyup, karena harus liputan di tengah hujan mengguyur.

selama liputan kabar kota saya jadi makin tahu busuknya dunia (tsaaah :p). mulai dari dilempar-lempar birokrasi busuk pemerintah kota yang berprinsip kalau bisa sulit kenapa dibuat mudah dari jam 10 pagi ampe 2 siang dan hasilnya hampa. melihat seratusan orang harus kebingungan malam harinya bisa tidur di mana karena beko menghancurkan gubuk mereka.

pernah juga saya bertemu pelaku korupsi recehan tapi sudah melakukan kejahatan itu bertahun-tahun. ia teramat lihai menyembunyikan jejak sampai bukti yang saya pegang hanya pernyataannya belaka, off the record pula. ada juga pengacara yang mengaku membela hak-hak wong cilik tapi diam-diam mengutip sepuluh persen biaya ganti rugi tanah mereka yang tak seberapa itu.

huff…

tapi berkat liputan kabar kota juga saya bertemu dengan sukarelawan pengajar sekolah terbuka bagi anak-anak pemulung di bantar gebang. mereka rela dibayar tak seberapa tiap bulannya demi menyemai tunas-tunas masa depan yang bisa memuliakan indonesia.

pernah pula saya berjumpa gadis berkaki satu penjual pempek di matraman. tak sedikitpun ia mengeluh ketika kompornya rusak dan harus berjalan tertatih mengambil tungku cadangan di rumah yang berjarak 200 meter dari lapak sederhananya.

pendek kata, menjadi jurnalis kabar kota membuat saya banyak belajar. baik soal reportase maupun kemanusiawian. dan dalam setiap keterbatasan, manusia sudah selayaknya bersyukur karena hidup itu indah adanya. 😀

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s