===repost dari catatan FB saya, 18 Februari 2010. juga sudah diterbitkan di HU Republika===
Andi Side (55 tahun) belum juga berangkat melaut, padahal sedari tadi petang telah sampai rembangnya. Sinar Harapan, perahu yang setia mengantar jemput dia dan kelima temannya melaut sejak setahun terakhir, masih tertambat di dermaga, sekitar 200 meter dari gerbang ‘Selamat Datang di Perkampungan Nelayan Cilincing’, Jakarta Utara.
Sedianya, sebelum maghrib menjelang, Andi bersama kelompoknya sudah berlayar menuju bagan masing-masing di perairan utara Jakarta. Lantaran sang empunya kapal belum datang, alhasil mereka harus menunggu sebelum dapat laju. ”Kalau ada uang, saya juga ingin punya kapal sendiri,” lontarnya polos kepada Republika, belum lama ini.
Tiadanya kapal milik pribadi diakui Andi menghambat gerak kerja. Dia tak bisa menjadi nelayan jaring yang melaut hingga jauh, hanya bisa menangkapi ikan di bagan yang berjarak sekitar garis pantai. ”Itu bagan saya,” katanya sambil menunjuk satu di antara puluhan gubuk sederhana, kumpulan bagan yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kami berbincang.
Andi bercerita, bagan seharga tujuh juta rupiah itu didirikannya sejak setengah tahun lalu saat angin Baratan datang. Bagan itulah tumpuannya mencari penghidupan bagi istri dan empat anaknya. Bila angin besar datang, bagannya mungkin tersaput badai. ”Makanya, harus nabung pas kebetulan dapat tangkapan banyak biar bisa bikin bagan kalau tiba-tiba hilang,” ujar pria Bugis ini.
Di bagannya, Andi kerap menangkap beseng, ikan kecil yang jamak dipakai campuran pakan bebek. Satu peti berisi 20 kilogram beseng hanya akan ditebus tengkulak dengan Rp 25 ribu rupiah. ”Kalau belanak harganya lebih tinggi, perkilonya bisa dihargai Rp 3.000 sampai Rp 4.000 tergantung musim,” jelasnya sembari mengingat-ingat.
Padahal, di pasar ikan Kramatjati, Jakarta, harga satu kilogram belanak mencapai Rp 20 ribu. Harga yang tak pernah dikecap Andi dan nelayan lainnya karena rantai panjang distribusi produk perikanan ke pelanggan. ”Ikan beseng juga kalau di petani bebeknya harganya bisa tiga empat kali lebih mahal,” lirihnya.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), M. Riza Damanik mencatat, rata-rata nelayan hanya memperoleh 20 sampai 26 persen dari harga produk perikanan yang sampai ke konsumen. ”Sisanya terbagi ke tengkulak, perusahaan pengangkutan, dan distributor pengecer,” terangnya.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, menurut Riza harus memperhatikan dengans serius soal kesejahteraan nelayan. Sekitar seperempat dari total nelayan Indonesia yang tercatat di 2003 telah beralih pekerjaan dan kini hanya menyisakan 2,8 juta lainnya. ”Nilai tukar nelayan kini cuma 0,92 poin,” kutipnya dari penelitian yang dilakukan Bank Indonesia.
Riza menjelaskan, artinya dari satu juta rupiah modal yang dikeluarkan nelayan untuk menangkap ikan, mereka hanya mengumpulkan pendapatan Rp 920 ribu. Dengan kata lain, para nelayan merugi selepas melaut. ”Cara mereka agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, para wanitanya bekerja atau mereka mencari pinjaman untuk menambah alat tangkap,” urainya.
Mendapatkan pinjaman pun bukan perkara mudah bagi para nelayan. Riza berkata, bunga pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat) Indonesia tinggi dibanding Cina atau Malaysia, yang memberi kredit bagi nelayan berbunga lima persen. Belum lagi prosedur mendapatkan kredit nan panjang dan berliku yang menyulitkan. ”Anehnya, soal KUR ini tidak dituntaskan pemerintah di 100 hari pertama pemerintahan,” perangahnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad mengakui perbankan masih belum melirik sektor perikanan dalam memberikan kredit karena menganggapnya berisiko tinggi. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, para menteri terkait mengatakan akan mengubah mekanisme pemberian pinjaman bagi pelaku di bidang ini.”Sistem pemberian KUR sedang kita benahi untuk ke depannya,” janjinya tanpa menyebut tenggat waktu.
Menanggapi janji Pak Menteri, Andi hanya tersipu. Sejujurnya, dia mengatakan, ingin mencari pinjaman agar bisa membeli kapal motor yang harganya sekitar Rp 20 juta. Bila memang akan ada program pinjaman berbunga rendah, dia amat menyambutnya. ”Tapi, sejak umur 20-an saya jadi nelayan juga nggak pernah ada bantuan atau pinjaman apa-apa dari pemerintah,” lirihnya.
Menjadi nelayan, bagi Andi identik dengan ketidakpastian. Di musim angin Baratan tengah bertiup seperti sekarang, tangkapan seret dan tak mustahil ia pulang dengan jaring kosong. Dia berbahagia bila angin Timuran yang datang. Saat itu, masanya panen besar, dia bahkan pernah menangguk ikan senilai satu juta rupiah dalam semalam. ”Sekarang saya memang menunggu angin Timuran datang, waktu itu ikannya banyak,” katanya bersemangat.
Akhirnya, Andi memilih berharap angin Timuran-lah yang mampu memberinya kesempatan melapangkan rezeki. Dia tak menumpu keinginannya di bahu pemerintah yang punya sederet program peningkatan kesejahteraan nelayan namun realisasinya mengambang. Doanya, semoga sang angin tahun ini akan menggiring banyak ikan ke bagannya. ”Nanti kalau Timuran sudah datang, bakalan banyak yang bikin bagan baru di sana,” ujarnya sambil berseri seraya mengedikkan dagu, memberi isyarat ke arah lepas pantai Cilincing.