Seorang senator sepuh di himpunan saya tiga tahun lalu pernah berkata begini,
KM ITB dan student goverment yang lain didirikan dengan cita-cita tinggi. Mengajari pemerintah saat itu tentang bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan idealnya dijalankan. Pilih presiden itu harusnya one man one vote. Kita yang ajari mereka!
Sebelas tahun KM ITB berdiri, apakah cita-cita luhur itu saat ini kita miliki bersama? Nyatanya, boro-boro mengajari pemerintah beneran. Mengurusi diri sendiri pun dilakukan KM ITB dengan tertatih-tatih.
KM ITB selalu dijangkiti isu lama soal golongan dan hegemoni kelompok tertentu. Saling sikut, saling hujat, saling fitnah, bahkan dengan menggunakan cara-cara kotor. Nyata sekali isu ini mencuat saat suksesi KM ITB berlangsung alias saat Pemilu KM ITB. Gawatnya, Suksesi KM ITB 2009 akan berlangsung di pekan yang sama dengan Pemilu 2009. Entah akan selabil apa kondisi KM ITB saat itu.
Selain soal golongan dan kelompok, ada juga isu yang tak kalah klise soal kebutuhan konstituen akan kemahasiswaan terpusat. Bukti nyata soal yang satu ini terlihat saat tidak semua lembaga yang notabene adalah basis KM ITB berkontribusi mengirimkan senator ke Kongres. Alasannya macam2 mulai dari tidak ada sumber daya, perbedaan pandangan soal kemahasiswaan terpusat, hingga kondisi lembaganya yang belum menyepakati sistem kemahasiswaan yang ada sekarang. Sudah sebelas tahun gituh… masih belum bisa sepakat juga?
Sebelas tahun berdiri, mestinya KM ITB tidak sekadar bergerak menuju kemapanan tetapi sudah menapaki jalan ke arah itu. Masih segar di ingatan saat bulan lalu Kongres lantang teriak-teriak kalau mereka tak mampu melakukan tugasnya karena kuorum senator selalu tak memenuhi aturan yang mereka buat sendiri. Beberapa senator malah hattrick tidak masuk sidang penilaian laporan tengah tahun Kabinet. Teguran melayang. Akademis, prioritas, fokus di tempat lain jadi pembenaran mengenai alasan tidak datang sidang paripurna dan mangkir dari amanat yang sudah diemban.
Dua minggu lalu, muncul Memorandum I dari Kongres untuk Kabinet. Salah satu penyebabnya karena Kabinet dalam setengah tahun kinerjanya tidak mampu mencapai parameter performa minimal yaitu indeks prestasi sebesar 2,00. Ada sedikit cerita soal ini. Teman saya, seorang kepala sekolah, berkata seperti ini pada suatu hari,
Beuh, menteri (Kabinet KM ITB) jaman sekarang mah gaya… pas tadi si Ibu Negara lagi bareng saya, terus si ibu nelpon nanyain dia lagi ada di mana, katanya lagi di Shooter. Akhirnya mereka ketemuannya di Shooter itu. Tempet maen bilyar kan Shooter tuh?
Saya langsung membayangkan SBY sedang menghubungi Sri Mulyani untuk urusan negara dan ternyata Sri Mulyani lagi arisan. Akhirnya SBY rapat di tempat Sri Mulyani arisan. Ya, tidak salah juga kalo seorang menteri mau main bilyar atau arisan. Toh, tidak melanggar hukum juga. Hanya saja, konon si menteri yang waktu itu lagi main bilyar pas ditelpon Ibu Negara ternyata menjadi menteri berperforma paling buruk di Kabinet KM ITB 2008/2009 dengan indeks prestasi dibawah 1,00. Jika dirunut, tiga Kabinet terakhir selalu mendapat memorandum dari Kongres. Jelas bukan sebuah pertanda baik.
Isu golongan dan kelompok, disintegrasi, kapasitas dan kapabilitas, kok terdengar mirip dengan Indonesia sekarang ya? Well, silakan mengucapkan selamat pada diri kita sendiri. Cita-cita kita sudah tercapai. Student government yang kita dirikan sudah serupa dengan pemerintahan Indonesia yang berlangsung sekarang. Dalam sebuah obrol2 singkat dengan seorang teman di angkot sekitar sebulan sebelum Pemilu Raya KM ITB 2008 ada sebuah wacana menarik yang ia lontarkan: Lokakarya Kemahasiswaan II, sepahami dulu sistem yang akan dijalankan barulah sungguh-sungguh dilaksanakan bersama. Pertanyaannya sekarang, mau?
Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan sebuah ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud tapi ingin kita jelang.
(Goenawan Mohamad)
masih pentingkah kemahasiswaan?
atau
masihkah kita mendefinisikan kemahasiswaan?
waw!!…