Ada yang berubah dari wajah jalan Kota Bandung belakangan ini. Jika sebelumnya hiruk pikuk jalanan hanya diaktori angkot, mobil, motor, segelintir tata hijau, billboard iklan rokok, pedangan asongan, dan pengamen; belakangan ini pelakunya bertambah satu: iklan kampanye politik. Di berbagai sudut terpampang wajah-wajah asing yang mencoba tersenyum pada warga kota. Tidak ada visi yang dinyatakan, tidak ada misi yang ingin diemban. Hanya foto tersenyum yang berukuran besar.
Iklan politik ini jelas bukan barang murah. Biaya cetak baligo berukuran 3 x 6 meter sekurang-kurangnya Rp 450.000, belum lagi biaya retribusi pemasangan yang akan dikutip Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung. Bukan cuma satu dua baligo yang dipasang seorang kandidat. Ada berlembar-lembar baligo, spanduk, dan poster yang disebar ke seluruh penjuru kota. Berapakah total biaya yang akhirnya dikeluarkan? Seorang anggota DPR RI periode 2004-2009 pernah berujar bahwa biaya kampanye yang harus dikeluarkannya pada Pemilu 2004 lalu menembus orde ratusan juta rupiah.
Sebegitu mahalnya kah harga ‘memasarkan’ diri pada calon pemilih?
Waktu saya jadi legislator kelas mahasiswa dulu, saya tidak keluar uang banyak untuk berkampanye. Rupiah saya keluarkan untuk mencetak poster berisi gagasan-gagasan saya mengenai apa yang akan saya lakukan setelah terpilih ketimbang mencetak poster senyum. Saya juga berkenalan dengan para konstituen saya melalui berbagai kesempatan; menjadi pembicara di forum diskusi himpunan, bincang-bincang di kantin, menjadi kontributor buletin, dan lain-lain. Hasilnya, saya cukup dikenal di kalangan para konstituen.
Itulah sebabnya saya merasa tidak perlu mengiklankan diri sampai membuat mereka merasa muak memandangi wajah saya yang menyeringai. Setelah saya terpilih, mereka pun jadi tak sungkan menyampaikan aspirasi mereka pada saya saat sekedar berpapasan di jalan atau saat bertemu di mushola. Saya dekat pada mereka, mereka pun dekat pada saya.
Dua pemandangan kontras namun hanya memiliki satu perbedaan mendasar: sejak awal saya sudah dikenal oleh konstituen saya sementara mereka tidak.
Pendekatan langsung ke akar rumput macam yang saya lakukan bukan sesuatu hal yang mustahil diaplikasikan pada lingkup pemilihan yang besar macam PEMILU. Mari mencuplik sebuah contoh, Hidayat Nur Wahid menjadi satu dari dua calon anggota legislatif yang memenuhi kuota suara pada PEMILU DPR RI pada 2004 lalu. Saya yakin HNW bukan tipe caleg yang gemar memasang foto senyum besar-besar di perempatan jalan. Konstituen mengenal HNW karena berbagai aktivitasnya yang memang menyentuh mereka.
Jika mereka memang ingin menjadi wakil rakyat, sudah sepatutnya mereka lebih turun ke masyarakat.
…
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
…
(Wakil Rakyat, Iwan Fals)
Hidup HNW…!!!
haha..
eh sal di panjangin atuh tulisannya…
gatau,, gabisa nulis panjang2 euy.. segitu aja udah dipanjang2in.. kebiasaan nulis buat blog kali ya.. jadinya kalo kepanjangan khawatir yang bacanya bosen..
waw ngiklan booo HNW hahaha…mmm sal,, idenya kayak si usman tapi anglenya beda hehehe… bru mau usulin usman spy kasi contoh…trnyata udah ada tulisan sali yg seperti aq bayangkan… nampaknya usman mesti ngerivisi dan tambahin yg berbeda spy beda ma kamu hihihi
iya nih rata2 tulisan kta tuh pendek2…
eniwei, dari semua tulisan yg kubaca… aq kok suka tulisan dian yaaaah naaaaissss banget endingnya,,,, paragraf terakhirnya itu loh… lesson learnednya dapat…
eniwei,