Akhirnya puasa menulis saya berakhir juga. Mulanya saya ingin memendam hasrat menulis saya setidaknya sampai sidang TA pertama saya terlalui. Hanya saja, saya merasa harus menulis. Tentang ini, tentang Babakan Siliwangi alias Baksil.
Saya sempat skeptis, buat apa berpayah-payah mengkaji masalah ini dalam-dalam. Beberapa pesan masuk ke inbox saya, Ayo Tandatangani Petisi Online katanya. Saya mencoba menjadi abai. Percuma, percuma saja. Walikota Bandung akan tetap tuli dan DPRD dengan sintingnya tetap menyetujui keputusan Si Orang Tuli. Hingga akhirnya seorang teman yang (bahkan) ada di Korea Selatan ikut mengajak untuk menandatangani petisi ini, baru saya tergerak untuk ikut.
Selamat, saya menjadi orang ke-2860 yang mempetisi masalah ini. Saya mencermati senarai mereka yang ikut menandatangani petisi. Saya takjub, nama-nama pemetisinya sangat familiar di mata saya. Ada dosen saya, ada teman seangkatan, ada teman di kampus, ada alumni, ada teman sd saya, ada orang-orang yang saya hormati; turut berkontribusi. Meluangkan semenit atau dua, sekadar menyatakan kalau kami peduli.
Bandung butuh investasi, katanya. Menjadikan Babakan Siliwangi sebagai daerah tujuan dengan memasukkan fungsi seperti gedung pertunjukan, galeri, tempat olahraga, dan butik akan mengundang pemodal, katanya. Luas bangunannya tidak akan lebih besar dari dua ribu meter persegi, seluas bangunan lama yang terbakar, katanya. Fungsi Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau kota tidak akan terganggu, katanya.
Stop, cukup membodohi kami sampai di sini. Mari kita uji kata-kata tadi.
Tebak berapa luas Bandung Indah Plasa. Berapa? duaribu, limaribu? Lantai dasarnya saja berluas limabelas ribu meter persegi sementara lantai dasar Ciwalk tanpa bagian ekstensionnya berluas sekitar enam ribu meter persegi. Tidak masuk di logika saya bahwa seabrek-abrek fasilitas tempat pertunjukan, butik, pusat kebudayaan, dan sarana olah raga tadi akan cukup menempati lot seluas dua ribu meter persegi. Masih mau membodohi kami?
Delapan jam lagi kami turun ke jalan, mencoba berteriak pada Si Orang Tuli.
ayoo sal!! sama-sama berjuang lawan rezim yang mau membodohi rakyat!! dasar da*a taik!!
Hmmm….
Terkait masalah ini saya sempat berbincang-bincang dengan bu Yuli, ketua sarpras ITB yang juga pembimbing saya…
Kata beliau ITB tidak bisa serta merta menolak pembangunan di Baksil… Karena bangunan ITB seperti SABUGA dan SARAGA juga berdiri di atas tanah PEMDA. Kalo mau si Da** bisa mengurangi waktu kontrak kita… dan kemana ITB mesti ngadain wisudaan dan MK olahraga?
Hmmm… Rasanya kita juga mesti nyediain solusi buat pengembang ini… Mungkin lebih baik kalo Baksil tetap RTH tetapi dengan pengelolaan yang lebih baik seperti Taman Bunga atau pusat seni?
Wallahualam…