Backpacking, obsesi saya sedari dulu yang baru tercapai dua pekan yang lalu. Yogyakarta, kota eksotis di tengah Pulau Jawa yang jadi tujuan saya. Saya bersama para teman Rumah Belajar KM ITB, masing-masing dengan bermodal seratus ribu rupiah bertekad menjelajahi Yogyakarta.
Siapkan sneakers dan tas punggung, kita ketemu di Kiaracondong! Janganlah lewat Stasiun Bandung, toh nanti kita turun di Lempuyangan; bukan Tugu. Mari merakyat, merasai transportasi kelas ekonomi.
Lokomotifnya datang; menderit, menjerit. Kami berlari menuju gerbong ketiga. Ups, sudah ada yang menduduki kursi-kursi kami. Ibu tua dan anaknya. Ternyata keduanya kesulitan membaca. Maaf, mas dan ibu salah kursi. Mereka pergi dengan terbungkuk-bungkuk. Loko dihela, kereta merayapi rel dengan terengah-engah. Pedagang asongan pulang anting sepanjang koridor gerbong.
Mijon, mijon, mijon…
Oh, kita masih di Jawa Barat.
Malam mulai memanjat, beberapa dari kami kalah dalam pertempuran melawan kantuknya. Kartu dikocok, poker dimainkan untuk membunuhi waktu hambar sepanjang perjalanan. Pedagang asongan masih wara wiri sepanjang koridor gerbong.
Mison, mison, mison…
Sudah sampai Jawa Tengah rupanya. Semoga kita cepat sampai di Jogja. Amin.
Subuh sudah tinggi saat akhirnya kami menginjakkan kaki di Yogyakarta. Kahuripan laju lagi, sampai ke Kediri. Selamat jalan, wahai kereta api tanpa api. Stasiun Lempuyangan hiruk pikuk dengan semua kegiatannya. Sibuk namun lembut, begitu khas Yogyakarta. Ah, saya mulai suka kota ini.
Sip, sneakers kami siap beraksi. Menjelajah sudut-sudut Jogja; Pingitan, Umbulharjo, Malioboro, dan Alun-alun. Dari karya besar Gunadharma di Magelang hingga Kalikuning lalu ke Pantai Depok di selatan. Jangan lupa di Malioboro mampir ke Mirota, batiknya tahan sampai 30 tahun katanya. Sudah terlalu sore saat mampir ke Keraton. Sang Astana sudah tak terima tamu. Yasudahlah, lain kali saja.
Dua hari berlalu, saatnya kami kembali ke kehidupan nyata. Murahnya makanan, nasi kucing, ngangkring di pinggir Kali Code; jelas tidak terlupakan. Sayang sekali, waktu liburan sudah habis. Akhirnya, Malioboro jadi titik bertolak. Malam mulai beranjak keluar menggantikan sore. Tenda-tenda dibentangkan, tikar-tikar lesehan digelar. Malioboro berganti aktor, dari penjual suvenir ke penjual makanan. Lepas magrib, Malioboro resmi bersalin rupa. Suasana yang mengingatkan saya pada lagu Katon Bagaskara.
Selamat tinggal Jogja, pasti kami datang lagi.
***
Yogyakarta
(dipopulerkan oleh Katon Bagaskara)
pilihan katanya bagus sekali,,,
kalo bikin novel kasi tahu y,,,
kereeeeenn…
sama kayak kasyfi, pilihan kata-katanya bagus. sekalian terbitin aja blog kamu! hehehe..
oya, jangan lupa intip blog-ku, ada tulisan backpacking kmaren versi saya 🙂
sapi… kapan backpacking lagi… mauuuu….
pulang ke kotamu… wha… yojo…yojo…
()yang mijon dan mison, jadi inget pas ke bali naek kereta ekonomi,,,
stasiun ciamis: mijon…mijon…mijon…
stasiun purwokerto : mison…mison…mison
sali…aq jg mau donk diajak bwt backpackingny…kasian nih aq kampring bgt ma daerah jawa hehehe
allo…^^
Saly tambah lama, tambah bagus aja blogna ya :), keren…keren.. Eh tukeran Link yuk, ini link bisnis kecil2an adrie ama putri sal, http://jagowisata.com
tolong yah, tar adrie juga sisipin blognya sali deh.. tapi yg wordpress ato blogspot?
Blog yang bagus…
Kata-kata yang bagus, sangat tepat menyampaikan maknanya…
Bikin kangen buat main ke Jogja lagi
kakakku..!!
bri skarang punya blog wordpress loh…
iwakuya.wordpress.com
baru banget bikinnya, sodara kmbar ma yang inih..
iwakuya.blogspot.com
maen-maen yah!!! anak kmbar bri umurnya baru smingguan, baru dua kali dimandiin (baca : diupdate), jadi masih butuh banyak nasehat n saran..
thx…
siang shally,….
boleh tanya ga??
boleh donk. 🙂
aku pengen banget backpacking,
tujuanku ama tmen2 jg sama kyk kmu, “jogja” (rencananya sih gitu,.. moga aja trlaksana :))
ada ga tips n’ trick bwtku?
soalnya aku ama tmen2 pngen tau, gmana c backpacking yang murah n menyenangkan itu?
yaah kyak crita diatas, 100ribu smpe jogja
hehehe…
bales ke imelku yaa… plisss
regards,
berillium04
Aku baru sadar kalo mijon dan mison itu pembeda dua bahasa lho. Well written!