‘How Sunda Are You?’ adalah aplikasi Facebook yang baru saya tambahkan di profil saya,, seru juga. Hasil tes ke-Sunda-an saya adalah…*jreng-jreng-jreng*
URANG SUNDA ASLI
hehe,, pertanyaannya memang agak2 gampang buat saya yang dari lahir sudah tinggal di Tatar Sunda dan dipaksa belajar Basa Sunda di sekolah. Misalnya, apa istilah untuk anak gajah? Kalau diingat2, pelajaran Basa Sunda termasuk pelajaran yang tidak saya sukai karena Basa Sunda lebih tepat disebut keahlian (skill) daripada pengetahuan (knowledge).
Mama saya yang orang Melayu dan Papa saya yang orang Minang bersepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi para anak mereka. Alhasil, saya dan saudara2 saya yang lain sama sekali asing dengan Basa Sunda dan serasa belajar bahasa alien saat belajar bahasa ini.
Justru saat SMA saya jadi lebih mahir menggunakan Basa Sunda, padahal waktu itu sudah tidak ada kewajiban untuk belajar bahasa ini. Kemahiran saya ini cenderung disebabkan oleh pergaulan saya yang kebanyakan dengan teman2 yang Sunda banget. Nah, setelah kuliah saya justru sering dijadikan juru terjemah oleh teman2 saya saat menawar, menanyakan arah jalan atau berinteraksi dengan penduduk asli Sunda oleh teman2 saya yang kebanyakan bukan orang Sunda.
Berkat kelihaian saya dalam berbahasa Sunda (plus logat saya yang makin Nyunda), saya sering disangka sebagai orang Sunda. Padahal…
Padahal sebenarnya saya orang mana ya? Dibilang orang Minang, bukan. Garis keturunan Minang yang matrilineal tidak saya dapatkan. Dibilang Melayu juga bukan, karena Suku Melayu menganut garis patrilineal. Bahasa Minang saya cuma pasif saja, kalau Bahasa Melayu sih lumayan bisa. Hemm,, bingung juga.
Kata seorang teman, golongan orang seperti saya ini namanya mereka yang indiferen. Tidak jelas. Tidak terdefinisi. Saya jelas tidak sendirian. Para indiferen biasanya muncul dari kalangan kaum urban, mereka yang datang ke perkotaan untuk mencari apa yang tidak mereka temui di daerah. Berbagai suku dan latar belakang budaya bercampur, bersatu dan memunculkan keluarga-keluarga urban yang meng-Indonesia tetapi jauh dari akar budayanya.
Lahirlah anak-anak yang tidak pernah mengenal nilai-nilai kearifan lokal warisan leluhur mereka. Mereka begitu rentan terhadap hantaman globalisasi dan budaya populer. Eng-ing-eng, lahirlah generasi MTv. Generasi yang jago bicara Indonesia campur slang Inggris tapi arti kata ‘watak’ saja tidak tahu. Generasi yang mahir mendesain bangunan dengan gaya neo klasik tapi tidak tahu cara mendesain menggunakan mandala. Generasi yang gemar menertawakan kelakuan Mr. Bean namun tidak kenal cerita Kabayan.
Untungnya sekarang sudah ada kesadaran untuk memperkenalkan kebudayaan daerah kepada generasi muda. Misalnya dengan mengikutkan mereka pada paket-paket liburan dengan tema ‘Kembali ke Alam’ atau ‘Kampung Ulin’. Anehnya program-program itu laris walau ditawarkan dengan harga yang –menurut saya– kelewat mahal.
Padahal mah, moal sakitu mahalna meureun…
yippiii….
saelah postinganna
mung naha beut teu ngangge basa sunda we nyeratna…
supados nu sanes apal yen basa sunda teh kitu, endah pisanlah…
antosanlah engke simkuring oge bade nyerat di blog ngangge basa sunda, tong disebat nurutannya?
da ieu mah bade netelakeun perkawis nu benten sareng nu ku sali serat…
mung sakitu wae atuh…
mangga diteraskeun nyeratna…
kedah nu langkung saenya…
hayu ah, wani wanohkeun sunda urang,
wani nyieun sunda sauyunan
wani rumingkangkeun sunda urang
eheemmm,,
kasusnya kaya ada yang kenal
Kaluhur…Uyut Siregar…Kagigir…Istri Jawa… Ari cicing di Puseur Dayeuh….Jadi anak uing asupna suku mana hayoh? Suku jebrag meureunnya 😀
hohohoo….
iyaaahh…benaaarr…senasiiibb!!!
emang nasib anak yang lahir di kota rantau seperti itu…kagak kenal bahasa daerah sendiri…suku sunda, tapi ngomong sunda amburadul…
tapi shal, kalo menurut ilmu biologi perilaku yang aku pelajarin, sebenarnya kita sendiri punya bakat lho buat bisa menghayati budaya leluhur secara naluriah (halaaahh…)
soalnya aku pelajarin tentang anak burung yang hidup sama induknya sejak lahir dengan anak burung yang tidak hidup sama induknya…yang tinggal ama ibu otomatis bisa bercuit karena belajar dari ibu, yang terisolasi dari kecil, sebenarnya bisa, cuma gak punya contoh bagaimana buat mengeluarkan cuitnya…
sebenarnya masing-masing punya blueprintnya (halah! macam kaderisasi ajah!), cuma tinggal diasah dan dibiasakan ajah…
jadi, kita mirip anak burung yang terisolasi gak sih? hahahahaaaa…(analisis yang aneh! ^___<)
tapi ada satu kelebihan kita shal! biasanya orang kayak gitu lebih terbuka dengan budaya lain…seiring dengan besarnya ancaman kena pengaruh globalisasi…hohoohooo