Hari Kartini yang sudah berselang beberapa hari yang lalu menyisakan pertanyaan besar buat saya. Stasiun televisi berlomba menyajikan acara yang menarik bertema Hari Kartini, mulai dari kompetisi bagi mereka yang lahir di tanggal 21 April hingga konser musik dengan keseluruhan pengisi acaranya adalah wanita. Tak ketinggalan, Kabinet KM ITB menyuguhkan acara perdananya kepada massa kampus berupa peringatan Hari Kartini yang menghadirkan batik day, talkshow dan fashion show (apah?? fashion show?!? gak salah??).
Benarkah emansipasi macam ini yang diinginkan Kartini?
Sebagian besar dari kita tentu hapal di luar kepala soal judul buku tulisan RA Kartini yang fenomenal itu. Habis Gelap Terbitlah Terang (HGTT) telah menginspirasi banyak wanita untuk menjadi manusia yang lebih kritis, tangguh, dan mampu mewujudkan cita-cita. Buku yang merupakan kumpulan surat-surat RA Kartini kepada Ny Abendanon menyuarakan kekritisan RA Kartini yang luar biasa. Beliau menyoroti tentang sistem patriaki di masyarakat tradisional Jawa yang terlampau mengerdilkan posisi wanita yang juga dilegalisasi oleh pemahaman agama kebanyakan yang terbatas dan dangkal.
Wanita dan pria memang berbeda, baik secara fisik maupun mental. Hal ini menjadikan -untuk beberapa hal- wanita adalah komplemen dari pria dan sebaliknya, bukan sebagai elemen subtitusi. Sejatinya, RA Kartini ingin mengangkat harkat wanita menjadi lebih layak dan sebagaimana mestinya. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya ilmu dan pemikiran RA Kartini hingga beliau memang pantas didudukkan dalam posisi yang sejajar dengan lelaki sebagai mitra.
Coba perhatikan beberapa pernyataan tokoh selebritas wanita tanah air yang mensyukuri perjuangan RA Kartini karena berkat perjuangan beliau mereka bisa berkecimpung di ranah hiburan. Padahal, HGTT lebih banyak mengungkap keinginan besar RA Kartini agar bisa menempuh pendidikan yang tinggi agar bisa memiliki pemikiran yang maju dan masa depan yang lebih baik dari sekedar menjadi istri ataupun ibu rumah tangga.
Jika di masa sekarang kita (baca: para wanita Indonesia) tidak berusaha keluar dari penjara pemikiran yang membelenggu kita di masa sekarang, justru saat itulah perjuangan RA Kartini sia-sia. Misalkan ada wanita yang mengomoditaskan sifat-sifat kewanitaannya macam bentuk tubuh yang indah, wajah manis dan tidak berdaya, dsb, hal ini yang mencederai perjuangan RA Kartini. Ironisnya, emansipasi yang didengungkan lebih dari seratus tahun yang lampau di hari sekarang ini justru dikerdilkan maknanya menjadi senjata untuk melegalisasi kelakuan oknum wanita yang melampaui batas. Harusnya, perjuangan RA Kartini dimaknai lebih dari ‘wanita boleh melakukan apa saja’.
Di jaman semacam ini, menggetolkan emansipasi adalah sebuah wacana basi. Memangnya di bidang apa wanita masih tertinggal dari kaum lelaki?
(diposting atas permintaan seorang saudara…)
i’m with you,,,
ya,masalah emansipasi kini banyak dijadikan sebagai jastifikasi bagi sebagian orang (baca kaum feminist) yang sebenarnya mereka sendiri kurang memahami makna emansipasi yang sesungguhnya…
tak ada yang merendahkan kedudukan seorang wanita bahkan dalam islam,,agama mayoritas di negara kita,,,juga menjunjung tinggi martabat kaum wanita,,lihat saja sebelum islam datang,perempuan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermartabat bahkan menjadi sesuatu yang nista bagi keluarga yang memiliki anak wanita,,sampai2 untuk menjaga kehormatannya mereka rela mengubur hidup2 setiap kelahiran anak wanita…tapi lain lagi ceritanya setelah islam datang perempuan sangat dihargai….
..kini para wanita sudah tidak perlu lagi khawatir akan budaya patriaki…tetapi jangan pula mendewakan emansipasi sebagai pembenaran untuk melakukan sesuatu yang “sa ena’e ndewek”…maap klo kepanjangan..:)
Yupzz…
emansipasi yang ada sekarang cenderung tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Kartini dulu…Emansipasi malah dijadikan sebuah dalil untuk meengeksploitasi wanita dalam segala hal…
Contohnya ya ‘Pesyen soW’ itu…cenderung menonjolkan keindahan tubuh wanita (padahal niatnya pameran busana, tapi malah jd pameran wanita)…
sapi, aku juga mau nulis tentang ini, tapi lagi belum sempet…
satu kalimat untuk kartini-kartini (semu) ITB :
kalo kartini hobinya fashionshow,
APA JADINYA INDONESIA?
telat nih komennya…
kemaren, satu minggu yang lalu tepatnya. nongkrongin acara Galelobot ITB 2008. emang ngefans banget sama yang berbau-bau robot atw mesin-mesinan gitu. nah, dari 32 tim yang lolos kualifikasi, hanya ada 1 tim cewek. yang anggotanya 3 orang akhwat (soalnya pake kerudungan semua). satu tim ini, menarik perhatian banget. mereka lolos ke babak 16 besar dengan mulus. lalu lanjut ke babak 8 besar. walaupun akhirnya ga lolos ke perempat final, tapi cukup memukau performance robot mereka. mengalahkan tim2 lain yang anggotanya cowok semua.
satu hal, sempet ngobrol dikit dengan mereka. mbak ucil (elektro-instrumentasi UGM’06, ketua timnya) bilang, “muslimah juga bisa kan?”.
pada saat dia ngomong kayak gitu, ingatanku langsung melayang ke acara kartinian wanita ITB yang bertema “mengikuti jejak Kartini” tapi malah diisi dengan fashion show kemben. maluuuuuuu……
tambahan iseng2 yaa
quote :
“Di jaman semacam ini, menggetolkan emansipasi adalah sebuah wacana basi. Memangnya di bidang apa wanita masih tertinggal dari kaum lelaki?”
secara prosedural mungkin anggapan ini utuh, wanita di semua bidang memiliki kesempatan yang sama. Tapi sudah terlalu sering kita lihat, prosedur di Negara ini begitu di manipulasi, sehingga partisipasi wanita dalam hampir semua bidang juga sangat semu.
saya setuju dengan adanya anggapan partisipasi itu artinya juga pelibatan dalam penentuan kebijakan. lalu apakah perempuan sudah dilibatkan dalam proses penentuan kebijakan secara efektif di Negara ini? atau di organisasi2 yg ada anggota perempuannya?
korban dari pasar bebas mayoritas adalah perempuan, sebagai contoh buruh2 pabrik di sektor garmen, rata2 95% buruhnya perempuan, karena mereka dinilai lebih rajin dan penurut (tidak akan banyak melawan ketika hak2 normatifnya sebagai buruh perempuan dilanggar).
artinya, pemodal suka menggunakan buruh perempuan tapi tidak mau direpotkan dengan persoalan2 genetik perempuan, seperti Haids, hamil, melahirkan, menyusui. Dan dalam kondisi seperti itupun, masih sangat2 jarang buruh perempuan yg mengambil peranan di Serikat Buruh, ini bukan kebetulan, karena pola pendidikan di Serikat Buruh banyak yg masih memposisikan perempuan sebagai pihak yg lemah dan merepotkan, walau dalam peraturan organisasinya jelas2 keterlibatan tidak dibatasi oleh gender. Ini hanya sekedar contoh, saya tidak berniat menyederhanakan persoalan.
Apa yg saya contohkan, bermaksud mengutarakan bahwa persoalan emansipasi pokoknya bukan persoalan moral, etika, tapi persoalan politik. Itu mungkin artinya dibutuhkan ‘politisasi’ dalam emansipasi perempuan, sehingga perempuan bisa lebih dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Makasih
hihi
@abu
abu udah bikin satu postingan sendiri tuh..hehe..
sebenernya statemen saya yang terakhir itu emang lumayan personal, buat kondisi teman2 di itebe yang bikin fashion show buat peringatan hari Kartini.
sepakat banget, perempuan masih jadi obyek dan terus tereksploitasi. tapi sedikit banyak, hal ini juga dipengaruhi sama pola pikir patriakis yang membudaya. bahkan, pola pikir ini juga diamini sama perempuannya juga. perempuan boleh nangis sementara laki-laki enggak, perempuan gak usah ngerjain kerjaan kasar karena itu kerjaan laki-laki, perempuan gak usah jadi pimpinan soalnya itu biar jadi tanggung jawab laki-laki aja, dsb.
struktur mikirnya perempuan juga harus mau diubah, jangan malah berlindung di balik nilai-nilai budaya yang ada.